Selasa, 19 Juli 2016

Makalah Qardh dan Ariyah



Pendahuluan

Dalam kegiatan sehari-hari, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat terlepas dari kegiatan pinjam meminjam. Pinjam memijam ini harus dilakukan manusia agar kebutuhannya dapat terpenuhi. Kebutuhan yang telah tercukupi akan membawa manusia kepada kemudahan dalam menjalani kehidupannya. Ada beberapa cara yang dilakukan manusia untuk melakukan pinjaman, seperti qardh dan ariyah. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai akad qardh dan akad ariyah. Namun, akan diulas lebih dalam mengenai qardh pada lembaga keuangan syariah khususnya bank syariah.
Pinjam meminjam di beberapa lembaga keuangan konvensional salah satu instrument keuangan yang paling dominan. Perbankan, lembaga pembiayaan, dan unit usaha simpan pinjam sering diidentikkan dengan instrument keuangan ini. Hal ini disebabkan apabila lembaga keuangan tersebut tidak menggunakan instrumen pinjam meminjam, maka lembaga keuangan tersebut dipastikan tidak akan berjalan secara efektif.
Sampai pada pengguanan instrument pinjam meminjam seperti ini sebenarnya tidak ada persoalan. Tetapi, akan muncul persoalan hukum dalam perspektif hukum Islam ketika dalam instrument keuangan tersebut dilengkapi dengan instrument bunga. Ketika peminjam mengembalikan pinjamannya diwajibkan menambah pada pinjaman pokoknya. Dalam perspektif hukum Islam, penambahan atas pokok pinjaman itu dapat dikategorikan kepada riba. Sementara hukum riba itu sendiri dalam Islam adalah haram.
Dalam Islam (fiqh muamalah) telah ditemukan satu akad yang berkaitan dengan pinjam meminjam ini, yakni akad qardh. Akad qardh ini pada gilirannya diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif bagi instrumen pinjam meminjam yang bisa digunakan di lembaga keuangan konvensional. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai bank syariah sebagai lembaga keuangan syariah dalam optimalisasi akad qardh.
Namun, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan qardh itu? Dan bagaimana implementaasi qardh di lembaga keuangan syariah khususnya pada bank syariah. Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan dideskripsikan pada pembahasan berikut.


A.   QARDH
1.      Deskripsi Qardh
Qardh secara Bahasa berarti qath’ (potongan), di mana harta diletakkan kepada peminjam sebagai pinjaman, karena muqridh (pemberi pinjaman) memotong sebagian harta. Sedangkan secara istilah, menurut Hanafiyah, qardh berarti sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsli untuk memenuhi kebutuhannya. Qardh juga berarti akad tertentu dengan membayarkan harta mitsli kepada orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, qardh berarti pemilikan sesuatu pada yang lain, yang dalam penggantiannya tidak ada tambahan. Qardh ini adalah masyru’, berdasarkan Q.S. al-Baqarah ayat 245:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20
“… dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Qur’an surat al-Hadid ayat 11
           
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diserukan untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta dijalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW dijelaskan:
 
“Dari Ibnu Mas’ud RA, bahwa Nabi SAW bersabda: tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada orang muslim lainnya sebanyak dua kali pinjaman, melainkan layaknya ia telah menyedekahkannya dua kali.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadis Nabi yang lain juga dijelaskan:
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabdah: "Pada malam aku di isra’kan, aku melihat pada pintu surga tertulis: sedekah akan dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Lalu aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah?’ ia menjawab,’ karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.” (HR. Ibnu Majah)

Dari hadis diatas menunjukkan bahwa manusia membutuhkan pertolongan dan bantuan dari saudaranya. Contoh pertolongan atau bantuan yang sering kali dilakukan yaitu pinjam-meminjam terhadap sesama, karena tidak seorang pun  yang memiliki segala sesuatu yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa hukum Qard adalah sunnah (dianjurkan) bagi orang yang meminjamkan dan boleh bagi orang yang meminjam.

2.      Rukun dan Syarat

Rukun Qard ada empat, yaitu:
1. Sighat (ijab qabul/serah terima)
2. Objek akad/ Muqtarad (barang yang dipinjamkan)
3. Pelaku akad, yang terdiri atas pemberi pinjaman (Muqrid), serta,
4. Penerima pinjaman (Muqtarid)[1]

Syarat Qard:
1.      Mengenai sighat-nya maka bisa menggunakan lafal qardh atau salaf karena keduanya digunakan dalam lafal syariat. Dibolehkan juga dengan lafal yang semakna dengan keduanya seperti kata-kata. “Mallaktuka hazȧ  ‘ala an tarudda alayya badalahu (aku berikan kepemilikan harta ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya kepadaku).”[2] Dengan kata lain sighat atau ijab qabul merupakan kesepakatan antara peminjam dengan pemberi pinjaman.
2.      Syarat Muqrid (pemberi hutang) harus memenuhi kriteria:
a.       Ahliyat at-Tabarru’ (layak bersosial). Maksudnya adalah orang yang mempunyai hak atau kecakapan dalam menggunakan hartanya secara mutlaq menurut pandangan syariat. Contoh: orang dewasa yang tidak menggunakan hartanya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang dilarang syariat, semisal membeli minuman keras, narkoba dan lain sebagainya.
Menurut syari’at, anak kecil, orang gila, dan hamba sahaya (budak) tidak berhak untuk membelanjakan hartanya (bukan termasuk ahliyat at-Tabarru’).
b.      Ikhtiyar (tanpa ada paksaan). Muqrid (pihak pemberi hutang) di dalam memberikan hutangan, harus berdasarkan kehendaknya sendiri, tidak ada tekanan dari pihak lain atau intervensi dari pihak ketiga.[3]
3.      Syarat Muqtarid (pihak yang berhutang)
Muqtarid (pihak yang berhutang) harus yang merupakan orang yang ahliyah mu’amalah. Maksudnya ia sudah baligh, berakal waras, dan tidak mahjur (bukan orang yang oleh syariat tidak diperkenankan untuk mengatur sendiri hartanya karena faktor-faktor tertentu). Oleh karena itu, jika anak kecil atau orang gila berhutang, maka akad hutang tersebut tidak sah, karena tidak memnuhi syarat.[4]
4.      Syarat objek akad Qard (barang yang dipinjam)
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa diperbolehkan melakukan Qardh atas semua benda yang bisa dijadikan objek akad salam, baik itu barang yang ditakar dan ditimbang seperti emas, perak, dan makanan, maupun dari harta qimmi, seperti barang dagangan, binatang dan juga barang yang dijual satuan. Alasan dalam hal ini adalah sesuatu yang dapat dijadikan objek komoditi salam dimiliki dengan akad jual beli dan diidentifikasi dengan sifatnya, sehingga ia boleh dijadikan objek akad Qardh seperti halnya barang yang ditakar dan ditimbang.[5]
Dapat disimpulkan bahwa objek akad Qard yaitu harus jelas nilai pinjamannya dan waktu pelunasannya.

3.      Konsekuensi Hukum Qard[6]

Hak kepemilikan objek Qard, menurut Abu Hanifah dan Muhammad, berlaku jika terjadi serah terima barang. Abu Yusuf berpendapat bahwa peminjam tidak memiliki harta yang menjadi objek qardh selama barang itu masih utuh. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hak kepemilikan dalam Qard, dan tindakan sosial lainnya, seperti hibah, sedekah dan ‘ariyah (meminjamkan barang) berlaku mengikat dengan transaksi, meski hartanya belum diserahkan.
Peminjam diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dipinjam dan boleh juga mengembalikan harta yang dipinjam itu sendiri. Baik harta itu termasuk harta harta misl̇ iyat maupun tidak. Hal itu selama harta tersebut tidak mengalami perubahan dengan bertambah atau berkurang. Jika berubah, maka harus mengembalikan harta semisalnya.
Ulama Syafi’iyah dalam riwayat yang paling shahih dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan Qard berlaku dengan serah terima. Menurut Syafi’i, peminjam mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dipinjam adalah harta yang misl̇ i, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya. Dan jika yang dipinjam adalah qimiy (harta yang dihitung berdasar nilai), maka ia mengembalikan dengan barang semisal secara bentuk, karena Rasulullah telah berutang unta usia bakr (yang berusia muda) lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paing baik dalam membayar utang.”
Ulama Hanabilah mengharuskan pengembalian harta semisal jika yang diutang adalah harta yang ditakar dan ditimbang, sebagaimana yang disepakati oleh seluruh ahli fiqih. Sedangkan objek qardh bukan harta yang ditakar atau ditimbang, maka ada dua riwayat, yaitu harus dikembalikan nilainya sesuai nilai pada hari akad, atau harus dikembalikan semisalnya dengan sifat-sifat yang mungkin.

4.      Syarat yang Sah dan yang Tidak Sah (Fasid)

Di dalam akad Qard dibolehkan adanya kesepakatan yang dibuat untuk mempertegas hak milik, seperti persyaratan adanya barang jaminan, penanggung pinjaman (kafil), saksi, bukti tertulis, atau pengakuan di hadapan hakim. Mengenai batas waktu, jumhur ulama menyatakan syarat itu tidak sah, dan Malikiyah menyatakan sah. Tidak sah syarat yang tidak sesuai dengan akad qardh, seperti syarat tambahan dalam pengembalian, pengembalian harta yang bagus sebagai ganti yang cacat atau syarat jual rumahnya.
Adapun syarat yang fasid (rusak) di antaranya adalah syarat tambahan atau hadiah bagi si pemberi pinjaman saat akad berlangsung. Akad qardh tidak digabung dengan akad lain seperti akad jual beli. Syarat ini dianggap batal namun tidak merusak akad apabila tidak terdapat kepentingan siapa pun. Namun, mayoritas ulama membolehkan hadiah sepanjang tidak dipersyaratkan dalam akad[7].

B.     ARIYAH
1)      Pengertian Ariyah
Menurut etimologi, ariyah adalah ‘Aara’ berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata At-Ta’aawuru  yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam – meminjam.[8]
Menurut terminologi syara’ ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, antara lain:
Menurut Syarkhasyi dan Ulama Malikiyah:[9]
تملك المنفعة بغير عوض
Artinya: “Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:[10]
اباحة المنفعة بلا عوض

Artinya: “Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa pengganti”
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.

2)      Landasan Syara’
Ariyah dianjurkan (mandub) dalam islam, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah.
a.        Al-Qur’an
Q.S Al-Maidah: 2
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Q.S Al-Ma’un 5-7
Artinya: “orang-orang yang lalai terhadap sholatnya (5), yang berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”

b.      As-Sunah
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan :
أنّ النّبيّ صلى الله عميه وسلّم استعار منه أدراعا يوم حنين فقال: أغصبًا يا محمدُ؟ قال : بل عارية مضمو نةٌ
      “Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai dari pada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.[11]

Rasullah SAW bersabda:       
والله فىي عون العبد ما كا ن العبد في عون أخيه
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)

والعا رية مؤداة
Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)

من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ادّى الله عنه ومن اخذ ير يد إتلافها اتلفه الله
(رواه البخاري)
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari).

3)   Rukun dan Syarat Ariyah

a.       Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.[12]
Secara umum, jumhur ulama fiqh[13] menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:

Ø  Mu’ir (peminjam)
Ø  Musta’ir (yang meminjamkan)
Ø  Mu’ar (barang yang dipinjam)
Ø  Shighat (ijab dan qabul)


b.      Syarat Ariyah
Ulama mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :
1.    Mu’ir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahakan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dpat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil dan bukan orang bodoh.
2.      Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah
3.      Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian,binatang dan lain-lain.

4)   Macam-macam Ariyah
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar begantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terkait (muqayyad) atau mutlak.
v  Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk orang lain ketika akad. Misalnya : Seseorang meminjamkan tungganagn kepada orang lain tanpa menyebutkan tempat dan batas waktunya. Juga tanpa menentukan apakah untuk ditunggangi atau membawa barang.
v  Ariyah Muqayyad
Akad pinjam – meminjam yang dibatasi waktu dan penggunaannya secara bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya adalah peminjam harus memperhatikan batasan itu, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.


5)   Sifat Ariyah
Ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabillah berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjaman atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Menurut pendapat Malikiyah, mu’ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya. Jika ariyah di tempokan dalam suatu waktu, mu’ir tidak dapat memintanya sebelum habis waktunya. Akan tetapi pendapat yang paling unggul menurut Ad- Dardir, dalam kitab Syarah Al- Kabir, adalah mu’ir dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia menghendakinya.

6)   Ihwal Ariyah, Apakah Tanggungan atau Amanat.
a)      Mu’ir Mensyaratkan Peminjam Harus Bertanggung Jawab
Ulama Hanafiyah berpendapat, jika mu’ir memberikan syarat adanya tanggungan kepada peminjam, syarat tersebut batal. Begitu juga pada penitipan. Hala itu mensyaratkan tidak adanya tanggung jawab pada sewa-menyewa sebab persyaratan tersebut mengubah inti akad.
Menurut ulam Malikiyah, jika mu’ir mensyaratkan peminjaman untuk bertanggung jawab pada sesuatu yang bukan pada tempatnya, peminjam tidak menanggungnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabillah berpendapat, jika peminjam mensyaratkan ariyah sebagai amanat bukan tanggungan, tanggungan tidak gugur dan syarat batal, sebab setiap akad mengaharuskan adanya tanggungan tidak dapat diubah dengan syarat.
b)      Ariyah Berubah dari Amanah kepada Tanggungan.
Menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah kepada tanggungan karena diantara keduanya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang, yaitu dengan sebab sebagai berikut :
        i.            Menghilangkan barang
      ii.            Tidak menjaganya ketika menggunakan barang
    iii.            Mengunakan barang tidak sesuia dengan persyaratan atau kebiasaan.
    iv.            Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya.





C.   APLIKASI AL-QARD DALAM PERBANKAN SYARI’AH

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa produk perbankan syariah itu dapat dipilah kepada suta bagian, yakni pengerahan dana dari masyarakat dan penyaluran dana kepada masyarakat. Di antara produk perbankan syariah adalah qardh. Qardh dalam perspektif perbankan syariah diartikan sebagai produk pembaiayaan dalam bentuk transaksi pinjam meminjam. Yaitu pinjaman tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara cicilan dalam jangka waktu tertentu. Secara skematis implemntasi akad qardh di bank syariah dapat digambarkan sebagai berikut.[14]
Uang
(Maqrudh ‘Alayh)
Bank
(Muqarrid)
Nasabah
(Muqtaridh)
Kontrak Qardh
 





Implementasi qardh di perbankan syariah ini merupakan salah satu bentuk dari fungssi bank syariah sebagai institusi sosial. Selain sebagai lembaga bisnis di bidang keuangan, bank syariah juga berfungsi sebagai lembaga sosial yang mengembangkan produk perbankan yang bersifat tabaru’. Namun demikian, sekalipun qardh sebagai produk sosial, bank tidak boleh merugi karena produk ini, sehingga biaya administratif yang berkaitan dengannya ditanggung sepenuhnya oleh nasabah. Selain itu, besarnya dana untuk akad qardh juga harus dibatasi.

Akad al-Qard biasanya diterapkan sebagai hal berikut:
1.      Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjam itu.
2.      Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
3.      Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau membantu sektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu al-qard al-hasan.[15]
1)      Sumber Dana al-Qard
Dalam pembiayaan al-Qard menggunakan akad tabarru’ yakni jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Akad tabarru’ lebih berorientasi pada kegiatan ta’awun atau tolong menolong. Dalam akad ini pihak yang berbuat baik tidak boleh mensyaratkan adanya imbalan dalam bentuk apapun. Imbalan yang boleh diharapkan hanya pahala dari Allah SWT.
Al-Qard yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan sedekah. Disamping sumber dana umat, para praktisi perbankan syariah, demikian juga ulama, melihat adanya sumber lain yang dapat dialokasikan untuk al-Qard, yaitu pendapatan-pendapatan yang diragukan (non halal), seperti bunga di bank konvensional dan sebagainya. Oleh karenanya, dana yang berhenti tersebut lebih baik diambil dan dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana alam atau membantu dhu’afa.[16]

2)      Manfaat dan Resiko al-Qard
Manfaat akad al-Qard banyak sekali, diantaranya:
1.      memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapatkan talangan jangka pendek,
2.      al-Qard juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syariah dan bank konvensional yang didalamnya terkandung misi sosial, disamping misi komersial,
3.      adanya misi sosial-kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.[17]
Resiko dalam al-Qard terhitung tinggi karena dianggap pembiayaan yang tidak ditutup dengan jaminan. Namun jika dipandang perlu, LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan bahwa nasabah tidak mampu, maka LKS dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus sebagian atau seluruh kewajibannya.
Apabila nasabah tidak mau mengembalikan kewajibannya bukan karena tidak mampu, maka bank syariah dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah. Sanksi tersebut dapat berupa penjualan atas barang jaminan jaminan.
Kesimpulan

Akad qardh merupakan akad peminjaman harta kepada orang lain dengan adanya pengembalian semisalnya. Hal ini berarti bahwa pengembalian pinjaman harus sesuai dengan besarnya harta yang dipinjamkan. Dalam akad qardh tidak diperbolehkan adanya persyaratan yang diperjanjikan di awal akad. Sedangkan akad ariyah adalah perpindahan manfaat atas suatu barang tanpa adanya kompensasi. Yang berarti bahwa akad ariyah diperbolehkan atas barang yang bisa dimanfaatkan tanpa merusak zatnya.
Implementasi akad qardh pada bank syariah secara umum sudah sesuai dengan ketentuan yang ada, seperti pada Undang-undang dan Fatwa MUI. Namun, pada prakteknya penyaluran dana yang digunakan dalam akad qardh masih rendah. Rendahnya pembiayaan qardh ini disebabkan karena ketatnya persyaratan yang ada di perbankan syariah. Tidak semua orang yang mengajukan pembiayaan ini akan diberi pinjaman.
Besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank dalam akad qardh ini sudah ditetapkan batas maksimalnya sehingga kegiatan operasional perusahaan dapat berjaan dengan lancar. Setelah peminjam mendapat pinjaman, lalu pada bulan berikutnya dapat diangsur sebesar cicilan yang telah ditetapkan tiap bulan. Selain itu, peminjam juga akan dibebani biaya administratif. Kalaupun peminjam benar-benar tidak mampu mebayar pinjman yang diberikan bank, maka pembayaran bisa diundur bahkan bank bisa menghapus pinjaman tersebut.
Pinjaman qardh yang ada di perbankan syariah dapat dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan qardh dan qardhul hasan. Perbedaan utamanya terletak pada tujuan. Jika pembiayaan qardh adalah dana talangan yang sifatnya mendesak dan diperuntukkan untuk pengurus dan atau pegawai. Sedangkan pembiayaan qardh hasan disalurkan untuk kaum dhuafa yang bertujuan murni untuk kebaikan.





Daftar pustaka

Al Kaffani, Abdul Hayyie dkk. 2011. Fiqih Islam wa Adillatuhu,(penerjemah Arab oleh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu). Jakarta: Gema Insani
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Djuwaini, Diyauddin. 2015. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad. 2014. Manajemen Keuangan Syariah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Muhammad Asy-Syarbani, Mugni Al-Muhtaj, juz II. hlm.263. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah
Syafei, Rachmat. 2010. Fiqh Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Syamsuddin Asy-Syakhrasyi, Al-Mabsuth, juz XI. hlm. 133. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah.
Janwari, Yadi. 2015. Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: Rosda.
Konsep Al-Qardh dan Al-Qard Hasan Dalam Islam.pdf diakses pada tanggal 21 April 2016 pukul 16.40.


[1] Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati ‘Allam al-Ghuyub , hlm. 274.
[2] Abdul Hayyie al Kaffani dkk, Fiqih Islam wa Adillatuhu,(penerjemah Arab oleh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu), (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 375.
[3] Dumairi Nor dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (penerjemah arab: Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyat I’anat at-Talibin), hlm. 50.
[4] Ibid., hlm. 103.
[5] Abdul Hayyie al Kaffani dkk, Fiqih Islam wa Adillatuhu, hlm. 377.
[6] Ibid, hlm. 378.
[7] Diyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 257.
[8] Muhammad Asy-Syarbani, Mugni Al-Muhtaj, juz II. hlm.263. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah., hlm.139
[9] Syamsuddin Asy-Syakhrasyi, Al-Mabsuth, juz XI. hlm. 133. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah., hlm.139
[10] Ibid, hlm. 140
[11] Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah (Bandung:CV. Pustaka Setia) hlm. 140.
[12] Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II. Hal. 266. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah. hlm. 141.
[13] Ibid, hlm. 264.
[14] Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Rosda), hlm. 150.
[15] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 133.
[16] Ibid
[17] Ibid., hlm.`134.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar