Pendahuluan
Dalam
kegiatan sehari-hari, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat terlepas dari
kegiatan pinjam meminjam. Pinjam memijam ini harus dilakukan manusia agar
kebutuhannya dapat terpenuhi. Kebutuhan yang telah tercukupi akan membawa
manusia kepada kemudahan dalam menjalani kehidupannya. Ada beberapa cara yang
dilakukan manusia untuk melakukan pinjaman, seperti qardh dan ariyah. Dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai akad qardh dan akad ariyah. Namun, akan
diulas lebih dalam mengenai qardh pada lembaga keuangan syariah khususnya bank
syariah.
Pinjam
meminjam di beberapa lembaga keuangan konvensional salah satu instrument
keuangan yang paling dominan. Perbankan, lembaga pembiayaan, dan unit usaha
simpan pinjam sering diidentikkan dengan instrument keuangan ini. Hal ini
disebabkan apabila lembaga keuangan tersebut tidak menggunakan instrumen pinjam
meminjam, maka lembaga keuangan tersebut dipastikan tidak akan berjalan secara
efektif.
Sampai
pada pengguanan instrument pinjam meminjam seperti ini sebenarnya tidak ada
persoalan. Tetapi, akan muncul persoalan hukum dalam perspektif hukum Islam
ketika dalam instrument keuangan tersebut dilengkapi dengan instrument bunga.
Ketika peminjam mengembalikan pinjamannya diwajibkan menambah pada pinjaman
pokoknya. Dalam perspektif hukum Islam, penambahan atas pokok pinjaman itu dapat
dikategorikan kepada riba. Sementara hukum riba itu sendiri dalam Islam adalah
haram.
Dalam
Islam (fiqh muamalah) telah ditemukan satu akad yang berkaitan dengan pinjam
meminjam ini, yakni akad qardh. Akad qardh ini pada gilirannya diharapkan dapat
dijadikan sebagai alternatif bagi instrumen pinjam meminjam yang bisa digunakan
di lembaga keuangan konvensional. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai bank
syariah sebagai lembaga keuangan syariah dalam optimalisasi akad qardh.
Namun,
apa sesungguhnya yang dimaksud dengan qardh itu? Dan bagaimana implementaasi
qardh di lembaga keuangan syariah khususnya pada bank syariah. Jawaban atas
pertanyaan inilah yang akan dideskripsikan pada pembahasan berikut.
A.
QARDH
1.
Deskripsi
Qardh
Qardh
secara Bahasa berarti qath’ (potongan), di mana harta diletakkan kepada
peminjam sebagai pinjaman, karena muqridh (pemberi pinjaman) memotong sebagian
harta. Sedangkan secara istilah, menurut Hanafiyah, qardh berarti sesuatu yang
diberikan seseorang dari harta mitsli untuk memenuhi kebutuhannya. Qardh juga
berarti akad tertentu dengan membayarkan harta mitsli kepada orang lain supaya membayar
harta yang sama kepadanya.
Menurut
Wahbah al-Zuhayli, qardh berarti pemilikan sesuatu pada yang lain, yang dalam
penggantiannya tidak ada tambahan. Qardh ini adalah masyru’, berdasarkan Q.S.
al-Baqarah ayat 245:
“Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki)
dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Al-Qur’an
surat al-Muzammil ayat 20
“…
dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada
Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu
niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling
baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Qur’an
surat al-Hadid ayat 11
“Siapakah
yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh
pahala yang banyak.”
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita
diserukan untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta
dijalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru untuk
“meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat.
Dalam
hadis Nabi Muhammad SAW dijelaskan:
“Dari
Ibnu Mas’ud RA, bahwa Nabi SAW bersabda: tidaklah seorang muslim memberikan
pinjaman kepada orang muslim lainnya sebanyak dua kali pinjaman, melainkan
layaknya ia telah menyedekahkannya dua kali.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam
hadis Nabi yang lain juga dijelaskan:
Anas
bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabdah: "Pada malam aku di isra’kan,
aku melihat pada pintu surga tertulis: sedekah akan dibalas sepuluh kali lipat
dan qardh delapan belas kali. Lalu aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa qardh
lebih utama dari sedekah?’ ia menjawab,’ karena peminta-minta sesuatu dan ia
punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.”
(HR. Ibnu Majah)
Dari hadis diatas menunjukkan bahwa manusia
membutuhkan pertolongan dan bantuan dari saudaranya. Contoh pertolongan atau
bantuan yang sering kali dilakukan yaitu pinjam-meminjam terhadap sesama, karena
tidak seorang pun yang memiliki segala
sesuatu yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu
bagian dari kehidupan di dunia ini. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa hukum
Qard adalah sunnah (dianjurkan) bagi orang yang meminjamkan dan boleh bagi
orang yang meminjam.
2.
Rukun
dan Syarat
Rukun Qard ada empat, yaitu:
1. Sighat (ijab
qabul/serah terima)
2. Objek akad/ Muqtarad
(barang yang dipinjamkan)
3. Pelaku akad, yang
terdiri atas pemberi pinjaman (Muqrid), serta,
4. Penerima pinjaman
(Muqtarid)[1]
Syarat
Qard:
1. Mengenai
sighat-nya maka bisa menggunakan lafal qardh atau salaf karena keduanya
digunakan dalam lafal syariat. Dibolehkan juga dengan lafal yang semakna dengan
keduanya seperti kata-kata. “Mallaktuka
hazȧ ‘ala an tarudda alayya badalahu (aku
berikan kepemilikan harta ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan
gantinya kepadaku).”[2] Dengan kata lain sighat
atau ijab qabul merupakan kesepakatan antara peminjam dengan pemberi pinjaman.
2. Syarat
Muqrid (pemberi hutang) harus memenuhi kriteria:
a. Ahliyat
at-Tabarru’ (layak bersosial). Maksudnya adalah orang yang mempunyai hak atau
kecakapan dalam menggunakan hartanya secara mutlaq menurut pandangan syariat.
Contoh: orang dewasa yang tidak menggunakan hartanya untuk sesuatu yang tidak
bermanfaat dan hal-hal yang dilarang syariat, semisal membeli minuman keras,
narkoba dan lain sebagainya.
Menurut syari’at, anak
kecil, orang gila, dan hamba sahaya (budak) tidak berhak untuk membelanjakan
hartanya (bukan termasuk ahliyat at-Tabarru’).
b. Ikhtiyar
(tanpa ada paksaan). Muqrid (pihak pemberi hutang) di dalam memberikan
hutangan, harus berdasarkan kehendaknya sendiri, tidak ada tekanan dari pihak
lain atau intervensi dari pihak ketiga.[3]
3. Syarat
Muqtarid (pihak yang berhutang)
Muqtarid (pihak yang
berhutang) harus yang merupakan orang yang ahliyah mu’amalah. Maksudnya ia
sudah baligh, berakal waras, dan tidak mahjur (bukan orang yang oleh syariat
tidak diperkenankan untuk mengatur sendiri hartanya karena faktor-faktor
tertentu). Oleh karena itu, jika anak kecil atau orang gila berhutang, maka
akad hutang tersebut tidak sah, karena tidak memnuhi syarat.[4]
4. Syarat
objek akad Qard (barang yang dipinjam)
Ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa diperbolehkan melakukan Qardh atas
semua benda yang bisa dijadikan objek akad salam, baik itu barang yang ditakar
dan ditimbang seperti emas, perak, dan makanan, maupun dari harta qimmi,
seperti barang dagangan, binatang dan juga barang yang dijual satuan. Alasan
dalam hal ini adalah sesuatu yang dapat dijadikan objek komoditi salam dimiliki
dengan akad jual beli dan diidentifikasi dengan sifatnya, sehingga ia boleh
dijadikan objek akad Qardh seperti halnya barang yang ditakar dan ditimbang.[5]
Dapat disimpulkan bahwa objek akad Qard yaitu harus
jelas nilai pinjamannya dan waktu pelunasannya.
3.
Konsekuensi
Hukum Qard[6]
Hak kepemilikan objek Qard, menurut Abu Hanifah dan
Muhammad, berlaku jika terjadi serah terima barang. Abu Yusuf berpendapat bahwa
peminjam tidak memiliki harta yang menjadi objek qardh selama barang itu masih
utuh. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hak kepemilikan dalam Qard, dan tindakan
sosial lainnya, seperti hibah, sedekah dan ‘ariyah (meminjamkan barang) berlaku
mengikat dengan transaksi, meski hartanya belum diserahkan.
Peminjam diperbolehkan mengembalikan harta semisal
yang telah dipinjam dan boleh juga mengembalikan harta yang dipinjam itu
sendiri. Baik harta itu termasuk harta harta misl̇ iyat maupun tidak.
Hal itu selama harta tersebut tidak mengalami perubahan dengan bertambah atau
berkurang. Jika berubah, maka harus mengembalikan harta semisalnya.
Ulama Syafi’iyah dalam riwayat yang paling shahih dan
ulama Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan Qard berlaku dengan serah
terima. Menurut Syafi’i, peminjam mengembalikan harta yang semisal manakala
harta yang dipinjam adalah harta yang misl̇ i, karena yang demikian itu
lebih dekat dengan kewajibannya. Dan jika yang dipinjam adalah qimiy (harta yang dihitung berdasar
nilai), maka ia mengembalikan dengan barang semisal secara bentuk, karena
Rasulullah telah berutang unta usia bakr
(yang berusia muda) lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah
yang paing baik dalam membayar utang.”
Ulama Hanabilah mengharuskan pengembalian harta
semisal jika yang diutang adalah harta yang ditakar dan ditimbang, sebagaimana
yang disepakati oleh seluruh ahli fiqih. Sedangkan objek qardh bukan harta yang
ditakar atau ditimbang, maka ada dua riwayat, yaitu harus dikembalikan nilainya
sesuai nilai pada hari akad, atau harus dikembalikan semisalnya dengan
sifat-sifat yang mungkin.
4.
Syarat
yang Sah dan yang Tidak Sah (Fasid)
Di dalam akad Qard dibolehkan adanya kesepakatan yang
dibuat untuk mempertegas hak milik, seperti persyaratan adanya barang jaminan,
penanggung pinjaman (kafil), saksi, bukti tertulis, atau pengakuan di hadapan
hakim. Mengenai batas waktu, jumhur ulama menyatakan syarat itu tidak sah, dan
Malikiyah menyatakan sah. Tidak sah syarat yang tidak sesuai dengan akad qardh,
seperti syarat tambahan dalam pengembalian, pengembalian harta yang bagus
sebagai ganti yang cacat atau syarat jual rumahnya.
Adapun syarat yang fasid (rusak) di antaranya adalah
syarat tambahan atau hadiah bagi si pemberi pinjaman saat akad berlangsung. Akad
qardh tidak digabung dengan akad lain seperti akad jual beli. Syarat ini
dianggap batal namun tidak merusak akad apabila tidak terdapat kepentingan
siapa pun. Namun, mayoritas ulama membolehkan hadiah sepanjang tidak
dipersyaratkan dalam akad[7].
B.
ARIYAH
1)
Pengertian Ariyah
Menurut etimologi, ariyah adalah ‘Aara’ berarti datang dan pergi. Menurut sebagian
pendapat, ariyah berasal dari kata At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au
At-Tanaasubu (saling menukar dan
mengganti), yakni dalam tradisi pinjam – meminjam.[8]
Menurut terminologi syara’ ulama fiqh berbeda
pendapat dalam mendefenisikannya, antara lain:
Menurut Syarkhasyi dan Ulama Malikiyah:[9]
تملك
المنفعة بغير عوض
Artinya: “Pemilikan
atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:[10]
اباحة
المنفعة بلا عوض
Artinya: “Pembolehan
(untuk mengambil) manfaat tanpa pengganti”
Akad ini berbeda dengan hibah,
karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan
hibah mengambil zat benda tersebut.
Pengertian pertama memberikan
makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang
lain. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam
tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.
2) Landasan Syara’
Ariyah dianjurkan (mandub) dalam
islam, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah.
a.
Al-Qur’an
Q.S Al-Maidah: 2
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Q.S Al-Ma’un 5-7
Artinya:
“orang-orang yang lalai terhadap sholatnya (5), yang berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”
b. As-Sunah
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan
:
أنّ
النّبيّ صلى الله عميه وسلّم استعار منه أدراعا يوم حنين فقال: أغصبًا يا محمدُ؟
قال : بل عارية مضمو نةٌ
“Bahwasanya
Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai dari pada Shafwan bin
Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus
dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman
yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.[11]
Rasullah
SAW bersabda:
والله
فىي عون العبد ما كا ن العبد في عون أخيه
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia
menolong saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)
والعا رية مؤداة
“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.”
(Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)
من أخذ اموال النّاس يريد اداءها
ادّى الله عنه ومن اخذ ير يد إتلافها اتلفه الله
(رواه البخاري)
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan
membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan
kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat
Al-Bukhari).
3) Rukun dan Syarat Ariyah
a. Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan
merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafi’iyah, dalam
ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari
peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan
milik barang bergantung pada adanya izin.[12]
Secara umum, jumhur ulama fiqh[13]
menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
Ø Mu’ir
(peminjam)
Ø Musta’ir
(yang meminjamkan)
Ø Mu’ar
(barang yang dipinjam)
Ø Shighat (ijab
dan qabul)
b. Syarat
Ariyah
Ulama mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai
berikut :
1.
Mu’ir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang
tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan
sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahakan bahwa yang berhak meminjamkan
adalah orang yang dpat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak
kecil dan bukan orang bodoh.
2.
Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam
berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti
halnya dalam hibah
3.
Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak
zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa
ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan
tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian,binatang dan
lain-lain.
4) Macam-macam Ariyah
Adapun ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar begantung pada jenis
pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terkait (muqayyad) atau mutlak.
v Ariyah
Mutlak
Ariyah mutlak adalah jika
seseorang meminjam sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri
atau untuk orang lain ketika akad. Misalnya : Seseorang meminjamkan tungganagn
kepada orang lain tanpa menyebutkan tempat dan batas waktunya. Juga tanpa
menentukan apakah untuk ditunggangi atau membawa barang.
v Ariyah
Muqayyad
Akad pinjam – meminjam yang
dibatasi waktu dan penggunaannya secara bersamaan atau salah satunya.
Konsekuensinya adalah peminjam harus memperhatikan batasan itu, kecuali ada
kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang.
Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan
untuk memanfaatkannya.
5) Sifat Ariyah
Ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabillah
berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjaman atas barang adalah hak tidak lazim
sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Menurut pendapat Malikiyah,
mu’ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat
mengambil manfaatnya. Jika ariyah di tempokan dalam suatu waktu, mu’ir tidak
dapat memintanya sebelum habis waktunya. Akan tetapi pendapat yang paling
unggul menurut Ad- Dardir, dalam kitab Syarah
Al- Kabir, adalah mu’ir dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara
mutlak kapanpun ia menghendakinya.
6) Ihwal Ariyah, Apakah Tanggungan atau Amanat.
a)
Mu’ir Mensyaratkan Peminjam Harus Bertanggung Jawab
Ulama Hanafiyah berpendapat, jika
mu’ir memberikan syarat adanya tanggungan kepada peminjam, syarat tersebut batal.
Begitu juga pada penitipan. Hala itu mensyaratkan tidak adanya tanggung jawab
pada sewa-menyewa sebab persyaratan tersebut mengubah inti akad.
Menurut ulam Malikiyah, jika
mu’ir mensyaratkan peminjaman untuk bertanggung jawab pada sesuatu yang bukan
pada tempatnya, peminjam tidak menanggungnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabillah
berpendapat, jika peminjam mensyaratkan ariyah sebagai amanat bukan tanggungan,
tanggungan tidak gugur dan syarat batal, sebab setiap akad mengaharuskan adanya
tanggungan tidak dapat diubah dengan syarat.
b)
Ariyah Berubah dari Amanah kepada Tanggungan.
Menurut ulama Hanafiyah, penyebab
perubahan ariyah dari amanah kepada tanggungan karena diantara keduanya ada
beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang,
yaitu dengan sebab sebagai berikut :
i.
Menghilangkan barang
ii.
Tidak menjaganya ketika menggunakan barang
iii.
Mengunakan barang tidak sesuia dengan persyaratan
atau kebiasaan.
iv.
Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya.
C.
APLIKASI AL-QARD DALAM PERBANKAN SYARI’AH
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa produk perbankan
syariah itu dapat dipilah kepada suta bagian, yakni pengerahan dana dari
masyarakat dan penyaluran dana kepada masyarakat. Di antara produk perbankan
syariah adalah qardh. Qardh dalam perspektif perbankan syariah diartikan
sebagai produk pembaiayaan dalam bentuk transaksi pinjam meminjam. Yaitu
pinjaman tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok
pinjaman secara cicilan dalam jangka waktu tertentu. Secara skematis implemntasi
akad qardh di bank syariah dapat digambarkan sebagai berikut.[14]
Uang
(Maqrudh ‘Alayh)
|
Bank
(Muqarrid)
|
Nasabah
(Muqtaridh)
|
Kontrak
Qardh
|
Implementasi qardh di perbankan syariah ini merupakan
salah satu bentuk dari fungssi bank syariah sebagai institusi sosial. Selain
sebagai lembaga bisnis di bidang keuangan, bank syariah juga berfungsi sebagai
lembaga sosial yang mengembangkan produk perbankan yang bersifat tabaru’. Namun
demikian, sekalipun qardh sebagai produk sosial, bank tidak boleh merugi karena
produk ini, sehingga biaya administratif yang berkaitan dengannya ditanggung
sepenuhnya oleh nasabah. Selain itu, besarnya dana untuk akad qardh juga harus
dibatasi.
Akad
al-Qard biasanya diterapkan sebagai hal berikut:
1. Sebagai
produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif
pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang
dipinjam itu.
2. Sebagai
fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak bisa menarik
dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
3. Sebagai
produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau membantu sektor sosial.
Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu al-qard
al-hasan.[15]
1)
Sumber
Dana al-Qard
Dalam pembiayaan al-Qard menggunakan akad tabarru’
yakni jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang
tidak bertujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Akad tabarru’ lebih
berorientasi pada kegiatan ta’awun atau tolong menolong. Dalam akad ini pihak
yang berbuat baik tidak boleh mensyaratkan adanya imbalan dalam bentuk apapun.
Imbalan yang boleh diharapkan hanya pahala dari Allah SWT.
Al-Qard yang diperlukan untuk membantu usaha sangat
kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan
sedekah. Disamping sumber dana umat, para praktisi perbankan syariah, demikian
juga ulama, melihat adanya sumber lain yang dapat dialokasikan untuk al-Qard,
yaitu pendapatan-pendapatan yang diragukan (non halal), seperti bunga di bank
konvensional dan sebagainya. Oleh karenanya, dana yang berhenti tersebut lebih
baik diambil dan dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana alam atau membantu
dhu’afa.[16]
2)
Manfaat
dan Resiko al-Qard
Manfaat akad al-Qard banyak sekali, diantaranya:
1. memungkinkan
nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapatkan talangan jangka
pendek,
2. al-Qard
juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syariah dan bank konvensional
yang didalamnya terkandung misi sosial, disamping misi komersial,
3. adanya
misi sosial-kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan
loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.[17]
Resiko dalam al-Qard terhitung tinggi karena dianggap
pembiayaan yang tidak ditutup dengan jaminan. Namun jika dipandang perlu, LKS
dapat meminta jaminan kepada nasabah. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan
sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS
telah memastikan bahwa nasabah tidak mampu, maka LKS dapat memperpanjang jangka
waktu pengembalian atau menghapus sebagian atau seluruh kewajibannya.
Apabila nasabah tidak mau mengembalikan kewajibannya
bukan karena tidak mampu, maka bank syariah dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
Sanksi tersebut dapat berupa penjualan atas barang jaminan jaminan.
Kesimpulan
Akad
qardh merupakan akad peminjaman harta kepada orang lain dengan adanya
pengembalian semisalnya. Hal ini berarti bahwa pengembalian pinjaman harus
sesuai dengan besarnya harta yang dipinjamkan. Dalam akad qardh tidak
diperbolehkan adanya persyaratan yang diperjanjikan di awal akad. Sedangkan
akad ariyah adalah perpindahan manfaat atas suatu barang tanpa adanya
kompensasi. Yang berarti bahwa akad ariyah diperbolehkan atas barang yang bisa
dimanfaatkan tanpa merusak zatnya.
Implementasi
akad qardh pada bank syariah secara umum sudah sesuai dengan ketentuan yang
ada, seperti pada Undang-undang dan Fatwa MUI. Namun, pada prakteknya
penyaluran dana yang digunakan dalam akad qardh masih rendah. Rendahnya
pembiayaan qardh ini disebabkan karena ketatnya persyaratan yang ada di
perbankan syariah. Tidak semua orang yang mengajukan pembiayaan ini akan diberi
pinjaman.
Besarnya
pinjaman yang diberikan oleh bank dalam akad qardh ini sudah ditetapkan batas
maksimalnya sehingga kegiatan operasional perusahaan dapat berjaan dengan lancar.
Setelah peminjam mendapat pinjaman, lalu pada bulan berikutnya dapat diangsur
sebesar cicilan yang telah ditetapkan tiap bulan. Selain itu, peminjam juga
akan dibebani biaya administratif. Kalaupun peminjam benar-benar tidak mampu
mebayar pinjman yang diberikan bank, maka pembayaran bisa diundur bahkan bank
bisa menghapus pinjaman tersebut.
Pinjaman
qardh yang ada di perbankan syariah dapat dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan
qardh dan qardhul hasan. Perbedaan utamanya terletak pada tujuan. Jika
pembiayaan qardh adalah dana talangan yang sifatnya mendesak dan diperuntukkan
untuk pengurus dan atau pegawai. Sedangkan pembiayaan qardh hasan disalurkan
untuk kaum dhuafa yang bertujuan murni untuk kebaikan.
Daftar pustaka
Al Kaffani, Abdul Hayyie dkk.
2011. Fiqih Islam wa Adillatuhu,(penerjemah
Arab oleh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu). Jakarta: Gema
Insani
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.
Jakarta: Gema Insani Press.
Djuwaini,
Diyauddin. 2015. Pengantar Fiqh Muamalah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad.
2014. Manajemen Keuangan Syariah. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN.
Muhammad Asy-Syarbani, Mugni Al-Muhtaj, juz II.
hlm.263. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah
Syafei, Rachmat. 2010. Fiqh Muamalah. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Syamsuddin Asy-Syakhrasyi, Al-Mabsuth, juz XI. hlm.
133. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah.
Janwari,
Yadi. 2015. Lembaga Keuangan Syariah.
Bandung: Rosda.
Konsep
Al-Qardh dan Al-Qard Hasan Dalam Islam.pdf diakses pada tanggal 21 April 2016
pukul 16.40.
[2] Abdul Hayyie al Kaffani dkk, Fiqih Islam wa Adillatuhu,(penerjemah
Arab oleh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu), (Jakarta: Gema
Insani, 2011), hlm. 375.
[3] Dumairi Nor dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (penerjemah arab: Abu Bakr bin Muhammad
Syatha al-Bakri, Hasyiyat I’anat at-Talibin), hlm. 50.
[7]
Diyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh
Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm.
257.
[8]
Muhammad Asy-Syarbani, Mugni Al-Muhtaj, juz II. hlm.263.
Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah., hlm.139
[9]
Syamsuddin Asy-Syakhrasyi, Al-Mabsuth, juz XI. hlm.
133. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah., hlm.139
[10]
Ibid, hlm.
140
[12] Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz
II. Hal. 266. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah. hlm. 141.
[14]
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Rosda), hlm. 150.
[15]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 133.
[16]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar