Selasa, 19 Juli 2016

IMAN KEPADA NABI, RASUL & KITAB



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kita tidak akan terlepas dengan aturan-aturan kehidupan islami dimana kita berkewajiban untuk mentaati dan mematuhi ajaran Islam dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan al-Hadis. Untuk menjadi umat Islam yang sempurna maka kita harus mengimani enam rukun iman.Hukum enam rukun iman adalah wajib ‘ainatau wajib bagi seluruh umat muslim di dunia. Dalam makalah ini kami membahas tentang iman kepada Nabi, Rasul dan Kitab.
Nabi adalah seseorang yang di beri wahyu oleh Allah untuk dirinya sendiri sedangkan Rasul seseorang yang di beri wahyu oleh Allah untuk dirinya sendiri dan umatnya. Dalam Islam terdapat empat buah kitab yang wajib kita imani. Selain dari kitab Allah yang di turunkan melalui malaikat, kita juga bisa berpedoman pada hadis Nabi Muhammad SAW dan firman Allah SWT.Tujuan rukun iman yakni agar manusia memperoleh ketentraman kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian iman kepada Nabi, Rasul dan Kitab
2.      Bagaimana konsep beriman kepada Nabi, Rasul dan Kitab

1.3 Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hakikat dan fungsi kerasulan
2.      Untuk mengetahui hubungan Iman kepada Allah dengan Iman kepada Nabi, Rasul dan Kitab
3.      Untuk mengetahui manfaat beriman kepada Nabi, Rasul dan Kitab Allah SWT
4.      Untuk mengetahui keistimewaan kitab Al-Qur’an di banding dengan kitab-kitab lainnya





BAB II
PEMBAHASAN
IMAN KEPADA NABI

A.    KENABIAN dan RISALAH
Al-nabi secara bahasa berasal dari kata an-naba’ yang berarti penting. Dengan demikian, an-nabi adalah orang yang membawa berita penting. Seseorang disebut an-nabi karena membawa berita penting dari Allah SWT.[1] Secara terminologis arti an-nabi adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah SWT baik diperintahkan untuk menyampaikannya (tablig) maupun tidak. Oleh sebab itu, dalam bahasa agama berita penting dan proses pemberitaanya disebut sebagai wahyu. Berita penting itu pula dapat disebut sebagai ar-risalah atau dapat dikatakan sebagai utusan khusus yang membawa berita atau risalah dan orang yang membawa risalah disebut sebagai ar-rasul.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara Nabi dan Rasul. Keduanya sama-sama pembawa berita penting dari Allah SWT. Pembeda keduanya terletak pada persepsi kebahasan, pada konsep kenabian minus objek, sementara pada risalah membutuhkan objek,objek inilah yang disebut sebagai umat.[2] Ada satu hal yang membedakan antara Nabi dan Rasul yakni minimnya informasi terhadap umat yang dijadikan objek dakwah seorang Nabi, sehingga seakan-akan ia mendapat risalah hanya untuk dirinya sendiri. Selain itu juga karena Al-Qur’an tidak membedakan antara Nabi dan Rasul, maka yang membedakan antara keduanya adalah peran sejarah. Peran sejarah dapat membedakan dan menentukan apakah ia seorang nabi atau rasul.
Ada banyak pendapat seputar Nabi dan Rasul. Di samping yang disebutkan di atas tadi, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Rasul adalah seseorang yang diberi wahyu dalam kerangka syari’at baru, sedangkan Nabi tidak.[3] Seorang Nabi merupakan manusia pilihan yang memiliki kelebihan dari manusia lainnya, selain itu nabi juga memiliki mukjizat yang bertujuan mengajak manusia untuk meninggalkan kemusyrikan, menetapkan peraturan untuk kebahagian umat manusia, dan mengantar manusia untuk memahami sistem kebaikan.[4]
Kenabian dan wahyu merupakan suatu proses yang dicapai melalui empat tingkatan, yakni intelektual, imajinasi, keajaiban, dan sosial. Keempat tingkatan ini memberikan petunjuk tentang motivasi, watak, dan arah pemikiran keagamaan. Dalam teori kenabian al-Faribi berlandaskan pada psikologi dan metafisika, dan juga berkaaitan dengan politik dan etika. Al-Farabi menafsirkan kenabian secara psikologis, yakni sebagai salah satu sarana untuk menghubungkan alam bumi dan alam langit.[5]
Menurut Fazlur Rahman, ada tiga poin yang digagas oleh al-Farabi mengenai teori kenabiannya, yaitu: (1) bahwa Nabi tidak seperti akal pikiran biasa, dianugerahi akal pikiran yang luar biasa (2) bahwa akal pikiran Nabi, tidak seperti akal filsuf dan sufi, tidak membutuhkan instruktur luar, tetapi membangunnya sendiri dengan bantuan kekuatan ilahi (3) bahwa perkembangan akal kenabian ini mencapai hubungan dengan akal aktif (active intelligence) dari daya kenabian yang khusus.[6]
Seorang Nabi diyakini kebenarannya ketika mengusung gagasan-gagasan tentang kebaikan dan segala hal yang terkait dengan kesempurnaan dan keselamatan hidup. Di samping itu, hanya melalui Nabi pula konsep-konsep tersebut diberitakan oleh Allah SWT melalui malaikat-Nya.[7] Ada beberapa sifat-sifat Nabi, diantaranya: (1) al-fatanah atau cerdas (2) at-tablig yang menempatkan nabi dan kenabian sebagai pembawa syari’at dari Allah swt (3) al-amanah (4) as-siddiq.
Banyak permasalahan yang berkaitan dengan kenabian, salah satunya “Apakah kepercayaan kita pada seseorang yang dikatakan sebagai nabi itu dapat dibenarkan secara akal?” maka dari itu terkadang kita dihadapkan pada pilihan yang mengharuskan kita untuk mempercayai dan meyakini suatu realitas yang ada di luar batas kemampuan akal manusia, di saat kita menyadari akan keterbatasan akal dan indera kita. Karena pada dasarnya, segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini terbagi menjadi empat macam, yakni:[8] (1) sesuatu yang masuk akal, seperti wujudnya Allah (2) sesuatu yang tidak masuk akal, seperti adanya sesuatu dari alam ini dengan tanpa sebab (3) sesuatu yang mungkin kita ketahui, seperti rahasia-rahasia alam yang diungkap oleh ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini (4) sesuatu yang tidak mampu kita ketahui karena berada di luar batas kemampuan akal dan indera kita, seperti hakikat Tuhan, roh, malaikat dan lain-lain.
Para Nabi dan Rasul tidak mungkin akan mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal, akan tetapi mereka membantu kita untuk menemukan sesuatu yang tidak mampu kita ketahui (hal-hal gaib), sesuatu tersebut sangat esensial dalam kehidupan kita. Dengan ini, eksistensi kenabian dapat dibenarkan secara akal. Allah mengingatkan dalam firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kami hal-hal gaib, akan tetapi Alah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasulnya-Nya. Karena itu berimanlah pada Allah dan Rasul-rasul-Nya.” (QS. ‘Imran (3): 179)

Selain firman Allah di atas, juga terdapat dua sumber dalil yaitu:
1. Dalil ketetapan akal
Ada beberapa ketentuan seseorang dapat dikatakan pembuat syariat (hukum, undang-undang) bagi manusia haruslah dapat menyempurnakan syariat-syariat berikut:
a)    Seseorang itu haruslah mengetahui manusia secara sempurna, baik jiwa, insting, kecenderungan, kebutuhan, kemaslahatan, sebab-sebab kemanfaatan dan kemadharatan, dan semua hal lainnya yang berhubungan dengan manusia.
b)    Mampu mengabarkan sesuatu yang mungkin dan akan terjadi di masyarakat dan sesuatu yang baru. Dan sanggup menyelesaikannya dengan sebak-baik jalan.
c)    Tidak ada tanda-tanda bahwa ia melakukan semua itu untuk kepentingan dan kebaikan dirinya, kerabatnya, atau orang-orang tertentu.
d)   Mengetahui segala penyebab kemajuan manusia, dan hal-hal yang menyebabkan manusia celaka dan gagal.
e)    Haruslah terjaga dari salah dan lupa.
f)     Jujur dan benar, baik dalam perkataan maupun perbuatannya.
g)    Haruslah pemberani, dalam arti tidak takut pada kekuatan manusia, serta belas kasih terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya.
Kita tidak dapat menemukan manusia seperti itu dari zaman dahulu sampai sekarang, kecuali dia adalah seorang nabi dan rasul Allah.[9]
2. Dalil ketetapan naqli (periwayatan)
Ada beberapa alasan satu-satunya sumber utama untuk mengetahui dan membuktikan kenabian adalah dengan tegaknya kenabian Muhammad SAW, dengan Al-Qur’an sebagai bukti kerasulannya. Diantaranya:[10]
1. Satu-satunya Nabi yang sejarahnya dapat diterima melalui riwayat yang sanadnya sambung-menyambung, baik secara hafalan maupun tulisan hanyalah Nabi Muhammad SAW.
2. Satu-satunya agama yang mungkin dapat dimengerti dan dipahami dengan jelas oleh para cendekiawan yang bebas dalam berpikir dan berpendapat dan juga dapat dibenarkan hukum-hukumnya hanyalah agama Islam.
3. Satu-satunya kenabian yang pembuktiannya tegak dengan sendirinya, dengan bukti-bukti dan dalil yang berdasar pada ilmu dan rasio yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya adalah kenabian Muhammad SAW.
4. Satu-satunya kitab Ilahi yang dapat diterima dari pembawaannya dengan teksnya yang asli, bahkan sampai huruf-hurufnya sekalipun, diriwayatkan dari pembawanya secara mutawatir, sambung-menyambung melalui dua jalan, yakni jalan hafalan dan tulisan secara bersama-sama, hanyalah Al-Qur’an.

Berikut ketetapan Al-Qur’an tentang masalah kenabian yang memperoleh pembenaran dari sisi rasio:
1)      Kenabian adalah keutamaan Tuhan dan pemberi Tuhan. Ia memilih dari hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dan mengkhususkan kepada orang-orang yang diinginkan-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya. (QS. Ali ‘Imran: 74, QS. Hajj: 75, QS. Az-Zukhruf: 32)
2)      Allah megutus para utusan-Nya dari golongan mereka sendiri, yakni manusia. (QS. Al-Mukminum: 31-32, QS. Ibrahim: 4, QS. Al-Hajj: 75, QS. Al-Isra: 95, QS. Fushshilat: 6, QS. Al-Jin: 21-22, QS. Ali ‘Imran: 144)
3)      Para rasul Allah adalah manusia pilihan Tuhan yang melakukan dakwah dengn tulus ikhlas hanya karena menjalankan perintah Tuhan. (QS. An’am: 90)
4)      Tugas para nabi dan rasul Allah, dari yang pertama sampai yang terakhir adalah sama, yakni:[11]
a.    Mengajak makhluk untuk beribadah kepada Tuhan yang Esa semata, menjauhi segala macam Thaghut. Ini adalah sasaran utama dakwah rasul. (QS. Anbiya: 25)
b.    Menyampaikan perintah-perintah, larangan-larangan, kabar gembira dan siksa. (QS. Al-Ahzab: 39)
c.    Membimbing manusia dan menunjukannya ke jalan yang lurus. (QS. Ibrahim: 5)
d.   Teladan yang sempurna (QS. Al-An’am: 90)
e.    Menerangkan qubur dan akhirat (QS. Al-An’am: 130)
f.     Mengubah keinginan manusia dari kehidupan dunia yang fana kepada kehidupan akhirat yang kekal. (QS. Al-Hadid: 20)
g.    Supaya tidak ada ketetapan berhujah bagi makhluk atau membantah di sisi Allah (QS. AN-Nisa: 165)
5)      Semua Nabi adalah dari kaum laki-laki, tidak ada yang dari golongan perempuan (QS. An-Nahl: 43)
6)      Secara umum setiap Nabi dan Rasul memiliki sifat-sifat yang mulia dan terpuji sesuai dengan statusnya sebagai manusia pilihan Tuhan, baik dengan hal-hal yang berhubungan langsung dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. (QS. Al-Anbiya: 73)
7)      Semua Nabi dan Rasul diberi mukjizat. Mukjizat adalah kejadian atau peristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan manusia biasa, yang tidak bisa ditiru dan diperlajari oleh orang lain. Ada dua bentuk mukjizat yang dimiliki oleh setiap Nabi dan Rasul, yaitu:[12]
a.    Mukjizat ‘ilmi
Artinya mukjizat yang berkaitan dengan jenis-jenis ilmu yang tidak lazim diketahui oleh manusia, atau hal-hal gaib.
b.    Mukjizat ‘amali.
Artinya mukjizat yang berkaitan dengan amal atau perbuatan. Misalnya mukjizatnya nabi Daud berupa kemampuan melunakan besi tanpa proses pemanasan.

Ada dua hal yang membedakan antara mukjizat dengan sesuatu yang bukan mukjizat (hal-hal yang menyalahi kebiasaan: sihir, istidraj, karomah, maunah), yaitu:[13]
1.      Kejaadian luar biasa yang datangnya bukan dari Nabi atau Rasul diperoleh melalui usaha-usaha rohani. Artinya, keajaiban itu diperoleh seseorang dengan berbagai latihan (olah batin), dan tidak keluar dari batas kemampuan manusia. Berikut ayat yang berkaitan dengan mukjizat seoarang nabi: QS. Thaha: 19-21, QS. Al-Anfaal: 17, QS. Al-Isra: 93, QS. Al-An’am: 109.
2.      Sesuatu yang bukan mukjizat sifatnya terbatas. Artinya, mereka dapat melakukan semua itu bukan atas dasar permintaan orang lain, tetapi terkadang datang dengan sendirinya.

Menurut Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi, syarar-syarat orang-orang yang berhak mendapatkan kenabian dan menerima wahyu adalah:[14]
1. ‘Amil Az-Zaman (dibutuhkan zaman)
Artinya, kehadirannya memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengisi kekosongan rohani, memperbaiki segala kerusakan masyarakat, dan mengembalikan umat manusia kepada kehidupan yang sesuai dengan fitrah penciptaannya.
2. Syaraf An-Nasab (keturunan yang mulia)
Artinya seseorang yang akan diangkat menjadi Nabi haruslah berasal dari keturunan yang mulia.
3. Al-Mitsaliyah (keteladanan)
Artinya seseorang yang akan diangkat menjadi nabi haruslah memiliki kemanusiaan yang sempurna, baik fisik, akal pikiran maupun rohani. Dengan kata lain merupakan pribadi yang mulia dan terpuji.



















IMAN KEPADA RASUL
A.    PENGERTIAN IMAN KEPADA PARA RASUL
Beriman kepada Rasul Allah merupakan rukun iman keempat. Maksudnya ialah mempercayai bahwa Allah SWT telah mengutus para Rasul-Nya untuk membawa syiar agama dan membimbing umat pada jalan yang lurus dan diridhai Allah.[15]
Jumlah rasul tidak diketahui secara pasti, meskipun ada Ulama yang mengatakan jumlah rasul 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) orang, hanya Allah yang tahu. Adapun yang diangkat menjadi rasul 313 orang dan setiap muslim wajib mengetahui 25 rasul.
Terdapat perbedaan antara Nabi dan Rasul. Nabi adalah manusia laki-laki merdeka, mendapatkan wahyu Allah dengan hukum Syara’ untuk diamalkan sendiri. Sedangkan Rasul adalah manusia, laki-laki merdeka, mendapatkan wahyu Allah dengan hukum Syara’ untuk diamalkan sendiri serta disampaikan kepada orang lain. Jadi, seorang Nabi mendapatkan wahyu dari Allah untuk diamalkan sendiri. Adapun rasul, selain untuk diamalkan sendiri juga disiarkan kepada orang lain.[16]

B.     HAKIKAT KERASULAN
Kerasulan adalah merupakan akidah kedua sesudah tauhid (pengesahan Allah) yang merupakan prinsip agama dalam aspek akidah, kerasulan merupakan prinsip yang sama dalam aspek kepatuhan. Rasul secara bahasa berarti orang yang menjalankan tugas risalah pihak lain. Dalam istilah agama, Rasul berarti “orang yang menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia dan memberi petunjuk kepada mereka menuju jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) dengan izin-Nya”. Karena itu, rasul dalam berbagai ayat juga disebut al-hadi (pemberi petunjuk).[17]
Al-hadi ini dipilih oleh Allah dari kalangan umat manusia dan diistimewakan-Nya dengan ilham dan amal kebajikan. Ia menunjukkan manusia menuju jalan yang lurus dalam konsepsi dan amal perbuatan. Allah SWT berfirman:
“Dan jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhamkankan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS. asy-Syams, 91:7-10).[18]
Dari dua puluh lima Rasul terdapat beberapa Rasul yang disebut Ulil Azmi, artinya Rasul-rasul yang mempunyai keteguhan hati sangat mengagumkan, tabah luar biasa kesabarannya tidak ada batasnya, meski mereka harus dicela, dihina, dan tantangan yang sangat menyakitkan namun mereka tetap teguh dan tegar, senantiasa bertawakal dalam menyampaikan ajarannya kepada umat manusia. Walau berat, tetap melaksanakan misi sucinya yakni ajaran yang haq yang oleh Allah SWT dibebankan kepada mereka.[19]
Adapun orang-orang yang dipercayai jabatan menyampaikan risalah ini telah dianugerahi Allah cahaya yang terang, ilmu yang cemerlang dan hikmah yang kuat yang terus menyambung dengan mereka, bukan didasarkan atas prasangka dan dugaan, melainkan atas asas keyakinan dan kepastian tentang hakikat berbagai hal yang sering kali tidak bisa ditangkap oleh manusia pada umumnya.[20]

C.    FUNGSI PARA RASUL
Diutusnya para Rasul adalah untuk memenuhi kebutuhan primer diantara banyak kebutuhan akal manusia atas dasar kemurahan Zat Yang Maha Pencipta lagi Bijaksana. Kedatangan para Rasul merupakan suatu nikmat yang diberikan oleh yang memberikan wujud sebagai suatu ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lain di alam ini. Tetapi, kebutuhan itu adalah kebutuhan rohaniah dan segala apa yang bersangkut-paut dengan perasaan dalam kebutuhan itu, maka yang dimaksud adalah mengembalikannya kepada rohani dan menyucikan rohani itu dari kotoran hawa nafsu yang menyesatkan, atau menuntun nafsu itu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[21]
Untuk menjelaskan secara terperinci segala seluk beluk jalan mengenai kehidupan manusia sehari-hari (duniawiyah), kepintaran dalam memilih sistimnya, dan kemajuan akal untuk mendapatkan rahasia-rahasia ilmu pengetahuan, semuanya itu bukanlah termasuk tugas para rasul, kecuali memberikan garis-garis besar yang umumnya saja dan menganjurkan supaya orang berlaku adil dalam hal itu. Dengan syarat bahwa semua itu tidak akan menimbulkan keragu-raguan dalam I’tikad (kepercayaan), bahwa alam ini mempunyai Tuhan Yang Maha Tunggal, Maha Berkuasa,Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Bahwa makhluk ciptaan Tuhan mengalami kejadian sesuai Kodrat-Nya masing-masing.[22]
Tuhan memberikan syarat pula, bahwa dalam mencapai tujuan-tujuan duniawi, seorangpun tidak diperkenankan untuk berlaku jahat pada diri orang lain, atau pada kehormatannya, atau pada harta bendanya, dengan jalan yang tidak benar, sebagaimana yang dikehendaki oleh peraturan umum yang telah merata pada bangsa-bangsa dalam perundang-undangan mereka.[23]
Para Rasul membimbing akal untuk mengenali Allah dan mengenal sifat-sifat ketuhanan yang wajib diketahui oleh manusia. Mereka memberikan batas-batas tertentu dimana orangwajib berhenti dalam menggali pengetahuan tentang Tuhan pada tempat yang menyulitkan posisi manusia guna menentramkan hati kepada-Nya serta tidak menyia-nyiakan kekuatan akal yang telah diberikan Allah kepada manusia itu, rasul-rasul itu menyatukan kalimah makhluk ini (kepercayaannya) untuk mengabdi hanya kepada Satu Tuhan yang tidak bisa dibagi-bagi, dan mereka menyamakan pengertian pada diri manusia itu untuk bergantung pada-Nya dalam segala perbuatan dan mu’amalahnya, dan mereka mengingatkan kepada manusia itu akan kebesaran Tuhannya dengan menjalankan berbagai kewajiban ibadat dalam waktu-waktu tertentu yang berbeda-beda, sebagai  peringatan kepada orang yang lupa dan penyucian jiwa terus-menerus bagi orang yang bertakwa. Ibadat-ibadat itu dapat menguatkan apa yang lemah pada mereka dan menambah keyakinan bagi orang yang mengharapakn keyakinan itu.[24]

D.    PERBEDAAN ANTARA SEORANG RASUL DENGAN PEMIMPIN PADA UMUMNYA
Perbedaan yang membedakan antara seorang Rasul dan dengan para pemimpin dan orang-orang shaleh itu dan menunjukkan kelebihan atas mereka adalah “ilmu” yang diterima rasul dari Allah SWT yang dengan itu ia memberi petunjuk kepada manusia jalan yang lurus. Para pemimpin dan orang-orang shaleh itu tidak memiliki ilmu semacam ini, tetapi mereka membangun pandangan-pandangan atas asas dugaan dan perkiraan semata-mata. Pandangan-pandangan mereka tak mungkin terbebas dari kekurangan-kekurangan berupa unsur hawa nafsu. Lantaran itulah maka akidah-akidah yang mereka tegakkan, undang-undang yang mereka ciptakan dan metodologi ilmiah yang mereka gariskan itu tidak selamanya benar dan terbebas dari kekeliruan.
Tentang hakikat ini Al-Quran dalam banyak ayatnya telah memberikan isyarat, antara lain:
”Mereka tiada lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka” (QS. an-Najm, 53:23),
“Dan mereka tidak mempunyai suatu pengetahuan apapun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu sesungguhnya tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” (QS. an-Najm, 53: 28)
“Orang-orang yang zalimmengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang terang bercahaya, dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkaan manusia dari jalan Allah” (QS. al-Hajj, 28:89).[25]

Berbeda dengan itu maka seorang Rasul diberi ilmu hikmah dan pemikiran oleh Allah SWT. Ia memberi petunjuk kepada manusia tidak atas dasar dugaan dan keinginan hawa nafsunya, tetapi memberi petunjuk menuju jalan yang lurus yang bisa dilihatnya secara jelas dengan ilmu yang diterimanya dari Allah SWT. Karena itu maka Al-Quran, ketika menuturkan dalam ayatnya tentang pemberian kehormatanyang dianugerahkan Allah kepada salah seorang di antara makhluk-Nya berupa kenabian dan kerisalahan, menyatakan bahwa Allah SWT telah memberi ilmu dan hikmah. Dalam hal ini Ibrahim memproklamasikan kerasulannya dengan kalimat:
“Wahai ayahku, sesungguhnyatelah datang kepadakusebagian ilmu yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus” (QS. Maryam, 19: 43)
Sedangkan tentang Nabi Luth, Allah menyatakan:
“Dan kepada Luth telah Kami berikan hikmah dan ilmu” (QS. al-Anbiya’, 21: 74).
Lalu tentang Musa as dinyatakan:
 “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu” (QS. al-Qashash, 28: 14)
 Tentang Daud dan Sulaiman, Allah berfirman:
“Dan kepada mereka masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu” (QS. al-Anbiya’ 21: 79).
Kemudian kepada Rasul kita Muhammad SAW, Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah ilmu datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolongmu” (QS. al-Baqarah, 2: 120).

E.     HUBUNGAN ANTARA IMAN KEPADA ALLAH DENGAN IMAN KEPADA RASUL
Dari uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa seorang Rasul itu adalah orang yang dianugerahi “ilmu” yang tidak dimiliki oleh orang lain, serta dianugerahi Allah nur, hikmah dan ketajaman berpikir yang tidak diberikan-Nya kepada orang lain, maka tidak ada akidah lain tentang Allah SWT yang bisa dibenarkan kecuali yang telah dijelaskan dan disampaikan oleh para rasul itu kepada umat manusia, serta yang diserukan untuk mereka terima. Apabila seseorang di antara orang-orang awam ini membangun suatu akidah tentang Dzat dan sifat-sifat Allah semata-mata di atas renungan dan pemikirannya sendiri, atau melalui ajaran dan doktrin para filosof, maka akidah semacam itu tak mungkin dianggap benar buat selamanya. Karena merupakan suatu permasalahan yang berada jauh di luar kemampuan akal manusia pada umumnya.
Semua ini mengandung arti bahwa himpunan akidah-akidah dan rukun-rukun iman itu kebenarannya sangat tergantung pada keimanan kepada para rasul. Mustahil benar, jika kita memutuskan kaitan kita dengan sarana seperti ini dalam upaya kita membangun konsepsi kita di atas asas ilmu yang benar. Maka berdasar hal ini,Al-Quran dalam banyak ayatnya, amat menekankan seruannya pada ajakan untuk beriman kepada para rasul, antara lain:[26]
“Dan alangkah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan para Rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami adzab mereka dengan azab yang mengerikan. Mereka-mereka merasakan akibat buruk dari perbuatan mereka, dan adalah akibat perbuatan mereka itu kerugian yang ama besar” (QS. ath-Thalaq, 65: 8-9).
“Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan para Rasul-Nya, dan bermaksud memperbudakkan antara Allah dan para Rasul-Nya dengan mengatakan: Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu) dan kami kafir terhadap sebagian yang lain! Dan dengan itu mereka bermaksud mengambil jalan lain di antara yang demikian itu (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang sebenar-benarnya kafir. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan. Dan orang-orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahala. Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. an-Nisa, 4: 150-152).
“Dan barang siapa yang menentang rasul sesudah jelass kebenaran baginya, lalu mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam jahanam. Dan jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”(QS. an-Nisa, 4: 115).

Ayat tersebut mengemukakan bahwa hubungan antara Iman kepada Allah dengan Iman kepada para Rasul selamanya merupakan hubungan yang tak mungkin bisa diputuskan, dan bahwasanya orang yang tidak beriman kepada para Rasul dan menolak mengikuti ajaran-ajaran mereka adalah sesat dan kafir, tak perduli apakah saat itu orang tersebut beriman kepada Allah ataukah tidak, sebab akidah apa pun yang tidak disandarkan pada “ilmu” yang dimiliki para rasul itu tak mungkin bisa dibenarkan, sekalipun ia merupakan akidah monoteistik (ketauhitan).[27]

F.     KESAMAAN PANDANGAN UMAT MANUSIA
Masalah penting dalam hal ini adalah bahwa keimanan kepada rasul itu merupakan faktor satu-satunya yang bisa mempersatukan umat manusia serta menyatukan persepsi mereka atas akidah yang sama. Selama ini kebodohan terhadap keimanan menjadi pangkal sengketa diantara mereka. Sebab sepanjang mereka tidak tahu tentang masalah ini, niscaya mereka terpecah-belah dalam berbagai mahzab yang mereka bangun atas sangkaan dan perkiraan, dan dengan demikian tak bisa tidak pasti mereka memiliki pandangan dan akidah yang berbeda satu sama lain.
Para Nabi memiliki ilmu, cahaya, dan hikmah yang dianugerahkan Allah kepada mereka, maka mustahilmemiliki persepsi yang berbeda dalam ajaran-ajaran mereka, atau dalam teknik dan metode dakwah mereka. Karena itulah Al-Quran dengan tegas  menyatakan peneguhannya bahwa para nabi itu merupakan satu kelompok dengan ajaran-ajaran agama dan dakwah yang sama, untuk menuju tujuan yang sama pula, yakni ash-shirat  al-mustaqim, dan bahwasannya pula seorang mukmin tidak bisa membeda-bedakan sebagian atas sebagian lainnya dalam keimanannya. Sementara itu orang yang mendustakan mereka secara keseluruhan, dengan demikian terlepaslah predikat Islam dan iman dari dirinya, sebab ajaran yang ia dustakan itu bukanlah ajaran salah seorang di antara mereka, melainkan ajaran para nabi itu seluruhnya. Untuk itu Allah SWT berfirman:[28]
“Wahai para Rasul, makanlah dari makan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya agama (tauhid) ini adalah agama kamu semua agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul-rasul)itu menjadikan agama mereka terpecah-belah hingga beberapa macam. Tiap-tiap golongan merasa bangga padasisi mereka masing-masing” (QS. al-Mu’minun, 23: 51-53).
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan Nabi-nabi yang datang sesudahnya, dan Kami telah meberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya. (Juga kepada) ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu, Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung” (QS. an-Nisa, 4:163-14).

Dapat ditarik kesimpulan bahwa para Nabi itu semuanya menyerukan agama yang sama, dan mereka itu telah diutus sebagai Rasul kepada berbagai umat di dunia ini. “Tiap-tiap umat mempunyai rasul” (QS. Yunus, 10: 47)
Begitu Allah berfirman :
“Bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi (mereka) petunjuk” (QS. ar-Ra’d, 13: 7).
Tentang para Nabi yang dikisahkan oleh Al-Quran, berikut nama-nama mereka yang wajib kita imani secara tegas:


1.      Nabi Adam as.
2.      Nabi Idris as.
3.      Nabi Nuh as.
4.      Nabi Hud as.
5.      Nabi Saleh as.
6.      Nabi Ibrahim as.
7.      Nabi Luth as.
8.      Nabi Ismail as.
9.      Nabi Ishaq as.
10.  Nabi Ya’qub as.
11.  Nabi Yusuf as.
12.  Nabi Ayyub as.
13.  Nabi Syu’aib as.
Harun
Musa
14.  Nabi Zulkifli as.
15.  Nabi Daud as.
16.  Nabi Sulaiman as.
17.  Nabi Ilyas as.
18.  Nabi Ilyasa as.
19.  Nabi Yunus as.
20.  Nabi Zakaria as.
21.  Nabi Yahya as.
22.  Nabi Isa as.
23.  Nabi Muhammad SAW



Sedangkan para Nabi dan pemberi petunjuk yang dimiliki oleh berbagai umat yang tidak dikisahkan oleh Al-Quran dengan menyebutkan nama beliau semua, maka akidah yang benar bila dinisbatkan kepada beliau semua ini adalah untuk menuju agama yang sama, yakni Islam. Akan tetapi, umat manusia yang datang sepeninggalnya beliau itu mengubah ajaran-ajaran para nabi itu, sehingga dengan begitu muncullah berbagai agama yang bermacam-macam dikalangan mereka.[29]
Ajaran-ajaran tentang para Nabi seperti yang dikemukakan oleh Al-Quran seperti ini tidak kita temukan dalam kitab-kitab suci maupun agama-agama yang dianut oleh berbagai bangsa di dinia ini. Kitab-kitab suci dan agama-agama itu tidak memiliki bukti-bukti maupun argumentasi yang jelas dan benar seperti yang ada dalam Al-Quran sekaligus membuktikan kebenaran dan keabadian risalah yang ada dalam Al-Quran memuat risalah universal dan seruan abadi yang mengikat manusia dalam tali persaudaraan dan persatuan internasional.

G.    PATUH DAN TAAT KEPADA RASUL
Konsekuensi yang pasti terjadi dalam keimanan kepada kerasulan ini adalah bahwa umat manusia mesti mengikuti jalan yang telah ditempuh para Nabi dan Rasul Allah itu, tidak saja dalam masalah akidah dan peribadatan, tetapi sekaligus dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab, berdasarkan ilmu dan ma’rifat yang diberikan Allah kepada para Nabi dan Rasul itu, mereka mampu membedakan jalan yang lurus dari jalan yang menyimpang dalam bentuknya yang demikian jelas dan meyakinkan, yang karena itu pula maka semua perintah dan larangan mereka tidak berasal dari diri mereka sendiri, melainkan berasal dari Allah SWT.[30]
Sedangkan umat manusia pada umumnya tidak memiliki keberuntungan dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah seperti yang dimiliki para Nabi dan Rasul itu, sekalipun mereka telah memiliki pengalaman bertahun-tahun, dan bahkan berabad-abad lamanya. Dan kalaupun sekali waktu mereka sampai pada suatu kesimpulan yang benar, maka kesimpulan itu tidak mereka capai atas dasar keyakinan, tetapi diperoleh melalui dugaan, analogi, dan asumsi-asumsi belaka. Itulah sebabnya mengapa kesimpulan yang mereka peroleh itu selamanya mengandung keraguan, kekurangan, dan kemungkinan berubah dan berganti.[31]
Berbeda dengan itu, maka cara yang ditempuh oleh para nabi dan rasul, yang mereka anjurkan untuk diikuti oleh umat manusia ini, dibangun atas asas “ilmu” yang dianugerahkan Allah, sehingga ia tidak mengandung kemungkinan salah, lemah, berubah, maupun diganti, dan berdasar itu maka Al-Quran berkali-kali memerintahkan umat manusia ini untuk mengikuti jalan yang ditempuh para nabi dan rasul. Jalan yang ditempuh para nabi itu disebut oleh Al-Quran sebagai “syariah”, “minhaj” dan ash-shirath al-mustaqim”, lalu menyerukankepada mereka agar meninggalkan jalan yang mereka tempuh merupakan sarana memperoleh mardhatillah. Tentang hal itu Allah berfirman:[32]
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, kecuali untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS. An-Nisa, 4:64).
“Katakanlah: Jika kamu (betul-betul) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah menyayangi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali ‘Imran, 3: 31-32).
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya). Dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang berkata: Kami mendengarkan. Padahal mereka tidak mendengarkan. Sesungguhnya seburuk-buruk binatang (makhluk) di sisi Allah adalah orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak mengerti suatu apapun.” (QS. Al-Anfal, 8: 20-22).

H.    PENTINGNYA AKIDAH TERHADAP KERASULAN
Di samping adanya hukum yang jelas tentang keharusan taat dan mengikuti Rasul, maka keyakinan terhadap kerasulan hakikatnya juga merupakan ruh bagi peradaban dan kehidupan Islam. Juga merupakan kekuatan besar dalam memelihara kelestariannya, dan asas yang padanya keistimewaan dan kekhususan ajaran Islam ini ditegakkan.[33]
Ada tiga hal pokok yang bisa dianggap sebagai asas bagi semua bentuk peradaban atau sistem kebudayaan, yakni:
1.      Pola berpikir
2.      Prinsip-prinsip moral
3.      Undang-undang (hukum) kemasyarakatan (sipil).
Pola berpikir merupakan doktrin-doktrin yang berasal dari kaum cerdik pandai yang karena satu dan lain sebab menguasai pola berpikir sekelompok atau sejumlah besar umat manusia.Prinsip-prinsip moral berasal dari ajaran para pemimpin dan orang-orang shaleh di kalangan masyarakat yang menempati posisi sebagai pemimpin non-formal.Sedangkan undang-undang (hukum) kemasyarakatan (sipil) ditetapkan oleh orang-orang yang memiliki ilmu dan pengalaman yang mendalam, yang diakui kebenarannya oleh umatnya di berbagai bangsa.[34]

Sistem yang berlaku di masyarakat ini pasti mengandung tiga kelemahan:[35]
1.  Unsur-unsur yang dipersiapkan dengan ketiga sarana itu melahirkan kekacauan dan baru terlihat setelah berjalan dalam waktu yang lama. Karena itu pula ia selamanya mengandung kontoversi, kelemahan, dan pertentangan satu sama lain. Ini diakibatkan karena para cendekaiawan yang menyusun sistem itu jumlahnya banyak dan masing-masing mempunyai pendapat dan pola pikir sendiri-sendiri. Mayoritas kaum cenedekiawan dan pemikir semacam itu terdiri dari orang-orang yang mengisolasi diri dari kehidupan duniawi dan terputus hubungannya dengan kehidupan masyarakat.Sementara itu kelompok para pemimpin dan orang-orang shaleh dijadikan sumber kedua.Dengan berbagai pandangan dan ajaran yang amat berbeda satu sama lain. Mereka hidup di dalam dunia fantasi dan hanya “bergulat” dengan emosi dan naluri-naluri mereka yang ekstrim, mereka biasanya tidak memiliki hubungan yang akrab dengan kenyataan-kenyataan yang berkembang di masyarakat.Kelompok ketiga, kaum cerdik-pandai. Mereka memiliki perbedaan yang amat tajam satu sama lain. Kesamaan mereka adalah kelompok ini kurang terpengaruh oleh emosi dan naluri-naluri yang amat peka.
2.  Unsur-unsur yang diciptakan melalui ketiga sarana di atas tidak akan lama dan berkembang secara luas. Tak bisa dibantah pula bahwa masing-masing bangsa pasti terpengaruh oleh pandangan-pandangan para pemikir dan fiosof mereka dari waktu ke waktu yang terus-menerus berbeda pula. Sejalan dengan berkembangnya kondisi dan waktu, berubah pulalah pengaruh-pengaruh yang mereka tanamkan itu. Itulah sebabnya di dunia ini muncul berbagai corak kebudayaan yang berbeda satu sama lain, dan perbedaan-perbedaan itu sendiri hakikatnya merupakan dinamit yang sekali waktu pasti meledak dan mengobarkan api yang sangat mengancam perdamaian dunia. Pada sisi yang lainnya sistem-sistem kebudayaan dan peradaban yang berubah dan berganti tidak berkembang dan maju kearah jalan yang benar dan lurus.
3.  Prinsip mana pun yang ada dalam ketiga unsur tersebut sesungguhnya tidak merupakan unsur-unsur yang bisa dikategorikan sebagai unsur yang tidak sakral. Ini disebabkan karena pola berpikir yang diikuti oleh setiap umat yang berasal dari para pemikir mereka, dan juga undang-undang yang digariskan oleh para cendekiawan dan politis mereka itu semuanya adalah merupakan hasil ijtihad manusia. Akibat yang pasti terjadi dari semuanya ini adalah bahwa ketundukan mereka terhadap pola berpikir, prinsip moral, dan undang-undang itu, tidak mungkin memiliki kualitas setinggi yang dimiliki oleh iman yang dilakukan secara ikhlas. Mereka tahu bahwa unsur-unsur dasar peradaban mereka mengandung kekeliruan dan kekurangan, dan perlu diperbaiki dan diluruskan.
Sedangkan peradabanyang dibangun atas asas keimanan kepada Rasul akan terbebas dari kekurangan-kekurangan seperti itu, sebab:[36]
1.  Ketiga unsur yang disebutkan di atas, dalam ajaran Islam keluar dari satu sumber. Allah-lah yang menentukan pola perpikir, menetapkan prinsip-prinsip moral, dan menggariskan hukum-hukum tersebut. Dia-lah pemimpin di dunia pemikiran, moral, dan amal sekaligus. Dengan demikian pandangan yang dimunculkan pasti bersifat menyeluruh dan merupakan perpaduan antara hasil pemikiran, emosi, dan hikmah yang amat tinggi dalam upaya memecahkan problematika umat manusia. Ia mengambil kadar yang tepat dari ketiga unsur itu, lalu dimasukkan ke dalam perpaduan unsur peradaban tersebut, sehingga tidak akan ada kekurangan dan hal-hal yang berlebihan. Selain itu ia tidak akan berubah-ubah dan bertentangan dengan unsur-unsur lainnya, dan peradaban yang dihasilkan dari ramuan ini pasti lurus dan kokoh. Dan ini, pada hakikatnya berada di luar kemampuan manusia dan tidak mungkin diperoleh tanpa petunjuk dari Penguasa langit dan bumi.
2.  Unsur-unsur yang dimilikinya tidak terbatas oleh zaman dan waktu, atau hanya diperuntukkan bagi satu bangsa teertentu. Karena itu maka pola berpikir, prinsip-prinsip moral, dan undang-undang yang diterapkan oleh rasul, tidak seluruhnya dibangun atas dasar aspirasi kebangsaan maupun kekhususan-kekhusuan yang bersifat amat sementara, melainkan ditegakkan atas kebenaran dan obyektivitas yang menembus batas-batas wilayah, ras, bahasa, maupun waktu. Sebab kebenaran dan obyektivitas itu mencakup seluruh aspek yang ada di dunia, dan dimiliki oleh semua bangsa.
Jadi, kalau ada suatu peradaban yang bisa disebut sebagai peradaban yang universal dan abadi, maka peradaban itu adalah peradaban yang ditegakkan oleh Rasullah. Sebab peradaban inilah yang bisa diberlakukan di semua bagian dunia, diterima oleh semua bangsa, dan berlaku sepanjang zaman tanpa ada perubahan atau pergantian.
3.  Peradaban ini mempunyai nilai-nilai yang sakral dan penuh wibawa. Semua orang yang mengikutinya percayadan bahkan yakin sepenuhnyabahwa pendirinya, yakni Rasulullah saw adalah orang yang memiliki “ilmu” yang datang dari Allah, suatu ilmu yang tidak diragukan dan disangsikan kebenarannya.
“Inilah al-Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya” (QS. Al-Baqarah, 2:2), demikian Al-Quran menegaskan. Ia tidak dicampuri oleh pandangan, tindakan, dugaan, nilai, dan hawa nafsu manusia, dan apa yang dikemukakan seluruhnya berasal dari wahyu Allah. Dengan demikian ia tidak mungkinn sesat dari jalan yang benar atau menyimpang dari jalan yang lurus.
“Kawanmu ini yakni Nabi Muhammad saw, tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturunkan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya (Jibril) yang sangat kuat” (QS. An-Najm, 53: 2-5).
Kenyataannya, peradaban seperti yang ditampilkan Rasulullah ini memiliki tujuan yang jelas, kokoh, dan tahan lama. Sampai pada detik ini belum ada sistem yang memiliki kehandalan seperti yang ada dalam perdaban Islam ini, dan pola berpikir, prinsip-prinsip moral, maupun undang-undang yang telah ditetapkannya memiliki kekuatan hukum, wibawa, dan kesakralan yang amat besar.





IMAN KEPADA KITAB

A.    PENGERTIAN BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
Yaitu mempercayai bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang di turunkan kepada para Rasul untuk di sampaikan kepada para umat manusia.[37] Beriman kepada kitab-kitab Allah mencakup tiga hal yakni :
a.    Mempercayai bahwa kitab-kitab itu benar di turunkan dari Allah SWT.
b.    Beriman kepada apa yang telah Allah namakan dari kitab-kitabNya seperti Al-Qur’anul Karim yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Taurat yang di turunkan kepada Nabi Musa dan Injil yang di turunkan kepada Nabi Isa.
c.    Mempercayai bahwa berita-berita di dalam kitab tersebut adalah benar apa adanya.
Beriman kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu rukun iman, sebagaimana firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasulnyaa serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya” (QS. An-Nisa:136).

B.     KEISTIMEWAAN AL-QUR’AN
Sesungguhnya Al-Qur’an adalah firman Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu setiap mukmin senantiasa mengagungkan Al-Qur’an dan berusaha berpegang teguh pada hukum-hukumnya. Terdapat beberapa keistimewaan Al-Qur’an:[38]
1.      Al-Qur’an menghimpun ringkasan dari hukum ilahi dan datang sebagai penguat dan pembenar dari apa yang di kandung oleh kitab-kitab Allah terdahulu. Allah berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang di turunkan sebelumnya) dan sebagai saksi” (QS. Al-Maidah: 48)
2.      Manusia wajib berpegang teguh kepada Al-Qur’an sehingga setiap orang harus mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan mengamalkannya. Allah berfirman:
“Dan Al-Qur’an ini di wahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai kepadanya” (QS. Al-An’am:19)
3.      Allah telah menjamin untuk menjaga Al-Qur’an sehingga tidak akan pernah ada yang bisa mengubah kata di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman :
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memelihara” (QS.Al-Hijr:9)
4.      Sampai detik ini Al-Qur’an tetap terpelihara kalimat, huruf dan syakalny sehingga banyak hafiz di dunia ini. Setiap saat mushaf-mushaf diterbitkan oleh puluhan juta orang tanpa ada satu orangpun di antara kaum Muslimin yang memiliki perbedaan barang di dalam satu huruf dalam Al-Qur’an. Dengan demikian tidak ada alasan untuk meragukan bahwa Al-Qur’an yang di dengar oleh kaum Muslimin melalui lisan Rasulullah SAW itu persis seperti yang kini ada di tangan kita dan insyaAllah Al-Qur’an tetap akan terpelihara sampai hari kiamat tiba.
5.      Al-Qur’an di turunkan dalam bahasa Arab dan bahasa Arab adalah bahasa yang di pergunakan dan di pahami oleh ratusan juta orang di dunia ini. Tidak ada satupun kitab yang di baca secara fasih oleh sekian banyak orang. Oleh karena itu, orang-orang yang membaca dan memahami kandungannya tidak mengalami kesulitan seperti yang ditemui pada kitab-kitab yang lainnya.
6.      Firman yang terdapat di dalam Al-Qur’an di tujukan kepada seluruh umat manusia dan semua ajaran yang ada di dalamnya baik akidah, prinsip moral maupun hukum yang berhubungan dengan manusia berlaku universal sepanjang masa.
7.      Seluruh apa yang ada di dalamnya memuat ajaran-ajaran kitab suci sebelumnya dimana mustahil ada ajaran suatu kitab suci yang benar yang tidak di singgung oleh Al-Qur’an sehingga selama ada kitab ini maka manusia tidak membutuhkan kitab apapun kecuali Al-Qur’an.
8.      Al-Qur’an merupakan kumpulan ajaran dan hukum ilahi yang terakhir dalam artian Al-Qur’an telah mengeluarkan semua hukum dan ajaran yang pernah di turunkan kepada umat manusia melalui kitab-kitab suci yang berlaku untuk lingkungan umat tertentu lalu kepadanya di tambahkan sejumlah hukum dan ajaran yang baru yang belum pernah ada di kitab sebelumnya.Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah turunkan kepadamu” (QS. An-Nisa:105).
C.    HUBUNGAN ANTARA RASUL DENGAN KITAB
Rasul dan kitab sama-sama datang dari Allah SWT dan merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berasal dari Tuhan yang sama. Kedua-duanya merupakan sarana mencapai tujuan yang sama pula dimana salah satunya merupakan ilmu Allah dan yang lainnya merupakan argumentasi-Nya dimana kehidupan Rasulullah SAW dinyatakan sebagai suri teladan kaum muslimin.
Salah satu fitrah yang ditetapkan Allah bagi umat manusia adalah bahwa mereka tak mungkin mampu mengambil manfaat dalam bentuknya yang sempurna dari isi Kitab itu karena itulah mereka membutuhkan seorang “Maha Guru” yang bisa menanamkan ilmu yang terdapat dalam kitab kemudian menjadikannya sebagai suri teladan sekaligus menuntur adanya keterangan yang disandarkan pada suatu sumber yang bisa diyakini kebenarannya. Sebab prinsip-prinsip yang dijadikan landasan mengandung pola berpikir, bertindak, moral dan peradaban masyarakat dan jika tidak terpelihara maka pengaruh ajarannya akan terkikis dan mengancam asas-asas kehidupan dan melemahkan pilar penopang sistem sosial sehingga tidak ada satu ajaran yang dipercayai karena tidak adanya bukti. Oleh sebab itu, Allah menyerahkan kepemimpinan dan kalam-Nya kepada individu yang suci. Jika tidak ada seorang Nabi yang diutus ke dunia tanpa kitab suci niscaya tidak akan tercapai tujuan pemberian hidayah tersebut.[39]

D.    IMAN KEPADA SEMUA KITAB SAMAWI
Al-Qur’an memerintahkan agar umat manusia beriman kepada semua kitab suci yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya sehingga mereka dituntut untuk beriman kepada Nabi dan kitabnya. Allah berfirman:
“Dan mereka yang beriman kepada kita yang ditutunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu” (QS. Al-Baqarah:4)
“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya” (QS. Al-Baqarah:285)
“Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak-anaknya, serta apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun diantara mereka dan hanya kepada-Nya kami menyerahkan diri” (QS. Ali-Imran:84)
“(yaitu) orang-orang yang mendustakan al-kitab (Al-Qur’an) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui ketika belenggu dan rantai di pasang di leher mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api” (QS. Al-Mu’minun:70-72)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. Al-Hadid;57-25)

Dengan penjelasan tersebut Al-Qur’an secara jelas memerintahkan beberapa kitab suci yang harus di imani dan di berikan pujian. Taurat, Al-Qur’an menyebutkannya sebagai An-Nur (cahaya), Al-Huda (petunjuk), Al-Furqon (pembeda), Adh-Dhiya’ (cahaya terang), Al-Imam (pemimpin) dan Ar-Rahman (Rahmat). Al-Qur’an menyebutkan Injil di antaranya An-Nur (cahaya), Al-Mau’idzah (nasehat) dan Al-Huda (petunjuk).
Dengan demikian beriman kepada kitab-kitab yang telah disebutkan namanya pada Al-Qur’an merupakan prinsip Islam. Sesuai ajaran akidah Islam maka tidak ada satu umat pun di dunia ini yang tidak mempunyai seorang Rasul tanpa membawa kitab suci dan semua kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi adalah rangkaian ajaran yang memiliki sumber yang sama. Semua kitab itu diturunkan dengan membawa kebenaran, petunjuk, dan cahaya yang selama ini dikenal dengan nama Islam.[40]

E.     BERIMAN KEPADA AL-QUR’AN
Ada beberapa alasan mengapa manusia harus beriman kepada Al-Qur’an yakni:[41]
1.      Sebagian besar kitab-kitab yang ada di dunia ini sudah tidak ada lagi sedangkan yang masih bisa di temukan kondisinya sudah tidak terpelihara kecuali Al-Qur’an.
Kitab-kitab tersebut sudah bercampur aduk dengan tulisan tangan manusia yang mengandung unsur kesesatan sehingga sulit membedakan antara hak dengan batil, antara petunjuk dengan kesesatan. Sebagian kitab-kitab itu ada yang betul-betul tidak mencerminkan kalam ilahi, yang lain tidak kita ketahui kepada nabi yang mana kitab itu diturunkan sedangkan sebagian kitab yang lain sudah hilang karena zaman sehingga mengalami berbagai perubahan dan sulit untuk menentukan makna yang terkandung di dalamnya serta memahami tujuan-tujuan ajarannya dalam bentuk yang benar sehingga kitab-kitab tersebut tidak mungkin mencerminkan ilmu dan cahaya petunjuk yang benar kepada umat manusia.
2.      Kitab-kitab yang ada di dunia sekarang ini kecuali Al-Qur’an ajarannya seringkali menimbulkan pengaruh bagi lahirnya semangat nasionalisme. Sebagian besar memperlihatkan bahwa kitab-kitab tersebut berlaku untuk masa-masa tertentu dan pada negara tertentu pula. Dengan demikian kitab tersebut tidak bisa di pandang sebagai sarana hidayah yang universal bagi seluruh umat manusia untuk sepanjang zaman dan tidak cocok untuk masa sekarang ini.
3.      Tidak di ragukan bahwa sebagian kitab-kitab itu ada pula yang megandung ajaran-ajaran yang benar, prinsip-prinsip yang baik dan lurus untuk memperbaiki moral, perilaku dan tradisi umat manusia.

F.     MANFAAT BERIMAN KEPADA AL-QUR’AN
Berikut manfaat beriman kepada Al-Qur’an:[42]
·         Mengetahui perhatian Allah terhadap hamba-hambaNya juga kesempurnaan rahmatNya dimana Allah menurunkan kitab sebagai petunjuk umat manusia agar mereka bisa mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
·         Mengetahui hikmah Allah dalam syariatNya dimana Allah mensyariatkan kepada setiap kaum apa yang sesuai dengan keadaan dan karakter mereka. Allah berfirman: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah:48)
·         Bersyukur kepada Allah terhadap diturunkannya kitab-kitab tersebut. Sebab kitab-kitab tersebut merupakan cahaya dan petunjuk di dunia maupun di akhirat.

G.    PENYIMPANGAN KITAB TERDAHULU
Allah telah memberitahu melalui Al-Qur’an bahwa ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani telah mengubah kitab-kitab mereka. Oleh karena itu kitab-kitab mereka tidak lagi seperti saat di turunkan Allah.[43]
Orang-orang Yahudi menyimpangkan Taurat dengan mengubah, mengganti dan mempermainkan hukum-hukum Taurat. Allah berfirman:
“Di antara orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya” (QS. An-Nisa:46)
Orang-orang Nasrani juga menyimpangkan Injil dengan mengubah hukum-hukum di dalamnya. Allah berfirman tentang orang-orang Nasrani:
“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Kitab supaya kamu menyangka yang di bacanya itu sebagian dari Kitab, padahal ia bukan dari Kitab dan mereka mengatakan: Ia (yang di baca itu datang) dari sisi Allah, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui” (QS. Al-Imran:78)
Oleh karena itu, Taurat yang sekarang ini bukanlah Taurat yang di turunkan kepada nabi Musa dan Injil yang sekarang ini bukanlah Injil yang di turunkan kepada nabi Isa. Sesungguhnya Taurat dan Injil yang berada di tangan Yahudi dan Nasrani mengandung aqidah yang rusak, berita-berita yang batil dan cerita-cerita yang dusta.



















BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Zuhri H. 2013. Pengantar Studi Tauhid. Yogyakarta: Suka Press.
Mahmudin. 2006. Menemukan Kebenaran Islam. Yogyakarta: Gava Media.
Abul A’la Maududi. 1986.Dasar-Dasar Iman. terj. Afif Mohammad. Bandung: Pustaka.
Muhammad Abduh. 1979. Risalah Tauhid. terj. Firdaus. Jakarta: Bulan Bintang.
Sangkot Sirait. 2013. Tauhid dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
Zainuddin. 1991. Ilmu Tauhid Lengkap. Solo: Rineka Cipta.
Abdul Aziz bin Muhammad Abdul Latif. 1998. Pelajaran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan. Jakarta: Yayasan Al-Sofwa


[1]Zuhri H, Pengantar Studi Tauhid, Yogyakarta: Suka Press, 2013, hlm. 126
[2]Ibid, hlm. 127
[3]Ibid, hlm. 128
[4]Ibid
[5]Zuhri H, Pengantar Studi Tauhid, Yogyakarta: Suka Press, 2013, hlm. 129
[6]Ibid, hlm. 130
[7]Ibid, hlm. 133
[8]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam, Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 75
[9]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam, Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 75
[10]Ibid,hlm. 78
[11]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam, Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 83
[12]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam, Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 87
[13]Ibid, hlm. 88
[14]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam, Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 103
[15]Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Solo: RinekaCipta, 1991, hlm. 104
[16]Ibid., hlm. 105
[17]Abul A’laMaududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 70
[18]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 70
[19]Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Solo: Rineka Cipta, 1991, hlm. 109
[20]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 71
[21] Muhammad Abduh, RisalahTauhid, terj. Firdaus, Jakarta: Bulan Bintang,1979, hlm.155
[22]Sangkot  Sirait, Tauhid dan Pembelajarannya,Yogyakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2013, hlm. 68
[23]Ibid
[24]Ibid, hlm. 68-69
[25]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 72
[26]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 74
[27]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 74
[28]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 75
[29]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 76
[30]Ibid, hlm. 77
[31]Ibid, hlm. 77-78
[32]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 78
[33]Ibid, hlm. 79
[34]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 79
[35]Ibid, hlm. 80
[36]Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 82
[37] Abdul Aziz bin Muhammad Abdul Latif, Pelajaran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan, Jakarta: Yayasan Al-Sofwa, 1998, hlm. 42
[38] Ibid, hlm. 44
[39] Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 101
[40] Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, terj. Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 107
[41] Ibid, hlm. 112
[42] Abdul Aziz bin Muhammad Abdul Latif, Pelajaran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan, Jakarta: Yayasan Al-Sofwa, 1998, hlm. 48
[43] Ibid, hlm. 46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar