BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kita tidak akan
terlepas dengan aturan-aturan kehidupan islami dimana kita berkewajiban untuk
mentaati dan mematuhi ajaran Islam dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan
al-Hadis. Untuk menjadi umat Islam yang sempurna maka kita harus mengimani enam
rukun iman.Hukum enam rukun iman adalah wajib
‘ainatau wajib bagi seluruh umat muslim di dunia. Dalam makalah ini kami
membahas tentang iman kepada Nabi, Rasul dan Kitab.
Nabi adalah
seseorang yang di beri wahyu oleh Allah untuk dirinya sendiri sedangkan Rasul
seseorang yang di beri wahyu oleh Allah untuk dirinya sendiri dan umatnya.
Dalam Islam terdapat empat buah kitab yang wajib kita imani. Selain dari kitab
Allah yang di turunkan melalui malaikat, kita juga bisa berpedoman pada hadis
Nabi Muhammad SAW dan firman Allah SWT.Tujuan rukun iman yakni agar manusia
memperoleh ketentraman kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian iman kepada Nabi,
Rasul dan Kitab
2. Bagaimana konsep beriman kepada
Nabi, Rasul dan Kitab
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hakikat
dan fungsi kerasulan
2. Untuk
mengetahui hubungan Iman kepada Allah dengan Iman kepada Nabi, Rasul dan Kitab
3. Untuk
mengetahui manfaat beriman kepada Nabi, Rasul dan Kitab Allah SWT
4. Untuk
mengetahui keistimewaan kitab Al-Qur’an di banding dengan kitab-kitab lainnya
BAB
II
PEMBAHASAN
IMAN
KEPADA NABI
A. KENABIAN
dan RISALAH
Al-nabi secara
bahasa berasal dari kata an-naba’ yang berarti penting. Dengan demikian,
an-nabi adalah orang yang membawa berita penting. Seseorang disebut an-nabi
karena membawa berita penting dari Allah SWT.[1]
Secara terminologis arti an-nabi adalah seseorang yang diberi wahyu oleh
Allah SWT baik diperintahkan untuk menyampaikannya (tablig) maupun
tidak. Oleh sebab itu, dalam bahasa agama berita penting dan proses
pemberitaanya disebut sebagai wahyu. Berita penting itu pula dapat disebut
sebagai ar-risalah atau dapat dikatakan sebagai utusan khusus yang
membawa berita atau risalah dan orang yang membawa risalah disebut sebagai ar-rasul.
Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara Nabi dan Rasul. Keduanya sama-sama pembawa
berita penting dari Allah SWT. Pembeda keduanya terletak pada persepsi
kebahasan, pada konsep kenabian minus objek, sementara pada risalah membutuhkan
objek,objek inilah yang disebut sebagai umat.[2] Ada
satu hal yang membedakan antara Nabi dan Rasul yakni minimnya informasi
terhadap umat yang dijadikan objek dakwah seorang Nabi, sehingga seakan-akan ia
mendapat risalah hanya untuk dirinya sendiri. Selain itu juga karena Al-Qur’an
tidak membedakan antara Nabi dan Rasul, maka yang membedakan antara keduanya
adalah peran sejarah. Peran sejarah dapat membedakan dan menentukan apakah ia
seorang nabi atau rasul.
Ada banyak
pendapat seputar Nabi dan Rasul. Di samping yang disebutkan di atas tadi, ada
sebagian ulama yang berpendapat bahwa Rasul adalah seseorang yang diberi wahyu
dalam kerangka syari’at baru, sedangkan Nabi tidak.[3]
Seorang Nabi merupakan manusia pilihan yang memiliki kelebihan dari manusia
lainnya, selain itu nabi juga memiliki mukjizat yang bertujuan mengajak manusia
untuk meninggalkan kemusyrikan, menetapkan peraturan untuk kebahagian umat
manusia, dan mengantar manusia untuk memahami sistem kebaikan.[4]
Kenabian dan wahyu
merupakan suatu proses yang dicapai melalui empat tingkatan, yakni intelektual,
imajinasi, keajaiban, dan sosial. Keempat tingkatan ini memberikan petunjuk
tentang motivasi, watak, dan arah pemikiran keagamaan. Dalam teori kenabian
al-Faribi berlandaskan pada psikologi dan metafisika, dan juga berkaaitan
dengan politik dan etika. Al-Farabi menafsirkan kenabian secara psikologis,
yakni sebagai salah satu sarana untuk menghubungkan alam bumi dan alam langit.[5]
Menurut Fazlur
Rahman, ada tiga poin yang digagas oleh al-Farabi mengenai teori kenabiannya,
yaitu: (1) bahwa Nabi tidak seperti akal pikiran biasa, dianugerahi akal
pikiran yang luar biasa (2) bahwa akal pikiran Nabi, tidak seperti akal filsuf
dan sufi, tidak membutuhkan instruktur luar, tetapi membangunnya sendiri dengan
bantuan kekuatan ilahi (3) bahwa perkembangan akal kenabian ini mencapai
hubungan dengan akal aktif (active intelligence) dari daya kenabian yang
khusus.[6]
Seorang Nabi diyakini
kebenarannya ketika mengusung gagasan-gagasan tentang kebaikan dan segala hal
yang terkait dengan kesempurnaan dan keselamatan hidup. Di samping itu, hanya
melalui Nabi pula konsep-konsep tersebut diberitakan oleh Allah SWT melalui
malaikat-Nya.[7]
Ada beberapa sifat-sifat Nabi, diantaranya: (1) al-fatanah atau cerdas
(2) at-tablig yang menempatkan nabi dan kenabian sebagai pembawa
syari’at dari Allah swt (3) al-amanah (4) as-siddiq.
Banyak
permasalahan yang berkaitan dengan kenabian, salah satunya “Apakah kepercayaan
kita pada seseorang yang dikatakan sebagai nabi itu dapat dibenarkan secara
akal?” maka dari itu terkadang kita dihadapkan pada pilihan yang mengharuskan
kita untuk mempercayai dan meyakini suatu realitas yang ada di luar batas
kemampuan akal manusia, di saat kita menyadari akan keterbatasan akal dan
indera kita. Karena pada dasarnya, segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini
terbagi menjadi empat macam, yakni:[8]
(1) sesuatu yang masuk akal, seperti wujudnya Allah (2) sesuatu yang tidak
masuk akal, seperti adanya sesuatu dari alam ini dengan tanpa sebab (3) sesuatu
yang mungkin kita ketahui, seperti rahasia-rahasia alam yang diungkap oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi saat ini (4) sesuatu yang tidak mampu kita ketahui
karena berada di luar batas kemampuan akal dan indera kita, seperti hakikat
Tuhan, roh, malaikat dan lain-lain.
Para Nabi dan Rasul
tidak mungkin akan mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal, akan tetapi mereka
membantu kita untuk menemukan sesuatu yang tidak mampu kita ketahui (hal-hal
gaib), sesuatu tersebut sangat esensial dalam kehidupan kita. Dengan ini,
eksistensi kenabian dapat dibenarkan secara akal. Allah mengingatkan dalam
firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kami hal-hal
gaib, akan tetapi Alah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara
Rasul-rasulnya-Nya. Karena itu berimanlah pada Allah dan Rasul-rasul-Nya.”
(QS. ‘Imran (3): 179)
Selain firman
Allah di atas, juga terdapat dua sumber dalil yaitu:
1. Dalil ketetapan akal
Ada beberapa
ketentuan seseorang dapat dikatakan pembuat syariat (hukum, undang-undang) bagi
manusia haruslah dapat menyempurnakan syariat-syariat berikut:
a) Seseorang
itu haruslah mengetahui manusia secara sempurna, baik jiwa, insting,
kecenderungan, kebutuhan, kemaslahatan, sebab-sebab kemanfaatan dan
kemadharatan, dan semua hal lainnya yang berhubungan dengan manusia.
b) Mampu
mengabarkan sesuatu yang mungkin dan akan terjadi di masyarakat dan sesuatu
yang baru. Dan sanggup menyelesaikannya dengan sebak-baik jalan.
c) Tidak
ada tanda-tanda bahwa ia melakukan semua itu untuk kepentingan dan kebaikan
dirinya, kerabatnya, atau orang-orang tertentu.
d) Mengetahui
segala penyebab kemajuan manusia, dan hal-hal yang menyebabkan manusia celaka
dan gagal.
e) Haruslah
terjaga dari salah dan lupa.
f) Jujur
dan benar, baik dalam perkataan maupun perbuatannya.
g) Haruslah
pemberani, dalam arti tidak takut pada kekuatan manusia, serta belas kasih
terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya.
Kita tidak dapat
menemukan manusia seperti itu dari zaman dahulu sampai sekarang, kecuali dia
adalah seorang nabi dan rasul Allah.[9]
2. Dalil ketetapan naqli
(periwayatan)
Ada beberapa
alasan satu-satunya sumber utama untuk mengetahui dan membuktikan kenabian
adalah dengan tegaknya kenabian Muhammad SAW, dengan Al-Qur’an sebagai bukti
kerasulannya. Diantaranya:[10]
1. Satu-satunya
Nabi yang sejarahnya dapat diterima melalui riwayat yang sanadnya
sambung-menyambung, baik secara hafalan maupun tulisan hanyalah Nabi Muhammad SAW.
2. Satu-satunya
agama yang mungkin dapat dimengerti dan dipahami dengan jelas oleh para
cendekiawan yang bebas dalam berpikir dan berpendapat dan juga dapat dibenarkan
hukum-hukumnya hanyalah agama Islam.
3. Satu-satunya
kenabian yang pembuktiannya tegak dengan sendirinya, dengan bukti-bukti dan
dalil yang berdasar pada ilmu dan rasio yang tidak bisa diragukan lagi
kebenarannya adalah kenabian Muhammad SAW.
4. Satu-satunya
kitab Ilahi yang dapat diterima dari pembawaannya dengan teksnya yang asli,
bahkan sampai huruf-hurufnya sekalipun, diriwayatkan dari pembawanya secara
mutawatir, sambung-menyambung melalui dua jalan, yakni jalan hafalan dan
tulisan secara bersama-sama, hanyalah Al-Qur’an.
Berikut ketetapan
Al-Qur’an tentang masalah kenabian yang memperoleh pembenaran dari sisi rasio:
1)
Kenabian adalah keutamaan
Tuhan dan pemberi Tuhan. Ia memilih dari hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya
dan mengkhususkan kepada orang-orang yang diinginkan-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya.
(QS. Ali ‘Imran: 74, QS. Hajj: 75, QS. Az-Zukhruf: 32)
2)
Allah megutus para
utusan-Nya dari golongan mereka sendiri, yakni manusia. (QS. Al-Mukminum:
31-32, QS. Ibrahim: 4, QS. Al-Hajj: 75, QS. Al-Isra: 95, QS. Fushshilat: 6, QS.
Al-Jin: 21-22, QS. Ali ‘Imran: 144)
3)
Para rasul Allah adalah
manusia pilihan Tuhan yang melakukan dakwah dengn tulus ikhlas hanya karena
menjalankan perintah Tuhan. (QS. An’am: 90)
4)
Tugas para nabi dan rasul
Allah, dari yang pertama sampai yang terakhir adalah sama, yakni:[11]
a. Mengajak
makhluk untuk beribadah kepada Tuhan yang Esa semata, menjauhi segala macam
Thaghut. Ini adalah sasaran utama dakwah rasul. (QS. Anbiya: 25)
b. Menyampaikan
perintah-perintah, larangan-larangan, kabar gembira dan siksa. (QS. Al-Ahzab:
39)
c. Membimbing
manusia dan menunjukannya ke jalan yang lurus. (QS. Ibrahim: 5)
d. Teladan
yang sempurna (QS. Al-An’am: 90)
e. Menerangkan
qubur dan akhirat (QS. Al-An’am: 130)
f. Mengubah
keinginan manusia dari kehidupan dunia yang fana kepada kehidupan akhirat yang
kekal. (QS. Al-Hadid: 20)
g. Supaya
tidak ada ketetapan berhujah bagi makhluk atau membantah di sisi Allah (QS.
AN-Nisa: 165)
5)
Semua Nabi adalah dari
kaum laki-laki, tidak ada yang dari golongan perempuan (QS. An-Nahl: 43)
6)
Secara umum setiap Nabi
dan Rasul memiliki sifat-sifat yang mulia dan terpuji sesuai dengan statusnya
sebagai manusia pilihan Tuhan, baik dengan hal-hal yang berhubungan langsung
dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. (QS. Al-Anbiya:
73)
7)
Semua Nabi dan Rasul
diberi mukjizat. Mukjizat adalah kejadian atau peristiwa ajaib yang sukar
dijangkau oleh kemampuan manusia biasa, yang tidak bisa ditiru dan diperlajari
oleh orang lain. Ada dua bentuk mukjizat yang dimiliki oleh setiap Nabi dan Rasul,
yaitu:[12]
a. Mukjizat
‘ilmi
Artinya mukjizat yang berkaitan dengan
jenis-jenis ilmu yang tidak lazim diketahui oleh manusia, atau hal-hal gaib.
b. Mukjizat
‘amali.
Artinya mukjizat yang berkaitan dengan
amal atau perbuatan. Misalnya mukjizatnya nabi Daud berupa kemampuan melunakan
besi tanpa proses pemanasan.
Ada dua hal yang
membedakan antara mukjizat dengan sesuatu yang bukan mukjizat (hal-hal yang
menyalahi kebiasaan: sihir, istidraj, karomah, maunah), yaitu:[13]
1.
Kejaadian luar biasa yang
datangnya bukan dari Nabi atau Rasul diperoleh melalui usaha-usaha rohani.
Artinya, keajaiban itu diperoleh seseorang dengan berbagai latihan (olah
batin), dan tidak keluar dari batas kemampuan manusia. Berikut ayat yang
berkaitan dengan mukjizat seoarang nabi: QS. Thaha: 19-21, QS. Al-Anfaal: 17,
QS. Al-Isra: 93, QS. Al-An’am: 109.
2.
Sesuatu yang bukan
mukjizat sifatnya terbatas. Artinya, mereka dapat melakukan semua itu bukan
atas dasar permintaan orang lain, tetapi terkadang datang dengan sendirinya.
Menurut
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi, syarar-syarat orang-orang yang berhak mendapatkan
kenabian dan menerima wahyu adalah:[14]
1. ‘Amil
Az-Zaman (dibutuhkan zaman)
Artinya,
kehadirannya memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengisi kekosongan
rohani, memperbaiki segala kerusakan masyarakat, dan mengembalikan umat manusia
kepada kehidupan yang sesuai dengan fitrah penciptaannya.
2. Syaraf
An-Nasab (keturunan yang mulia)
Artinya seseorang yang akan diangkat
menjadi Nabi haruslah berasal dari keturunan yang mulia.
3. Al-Mitsaliyah
(keteladanan)
Artinya seseorang yang akan diangkat
menjadi nabi haruslah memiliki kemanusiaan yang sempurna, baik fisik, akal pikiran
maupun rohani. Dengan kata lain merupakan pribadi yang mulia dan terpuji.
IMAN
KEPADA RASUL
A.
PENGERTIAN
IMAN KEPADA PARA RASUL
Beriman kepada Rasul Allah merupakan rukun
iman keempat. Maksudnya ialah mempercayai bahwa Allah SWT telah mengutus para
Rasul-Nya untuk membawa syiar agama dan membimbing umat pada jalan yang lurus
dan diridhai Allah.[15]
Jumlah rasul tidak diketahui secara pasti,
meskipun ada Ulama yang mengatakan jumlah rasul 124.000 (seratus dua puluh
empat ribu) orang, hanya Allah yang tahu. Adapun yang diangkat menjadi rasul
313 orang dan setiap muslim wajib mengetahui 25 rasul.
Terdapat perbedaan antara Nabi dan Rasul.
Nabi adalah manusia laki-laki merdeka, mendapatkan wahyu Allah dengan hukum
Syara’ untuk diamalkan sendiri. Sedangkan Rasul adalah manusia, laki-laki
merdeka, mendapatkan wahyu Allah dengan hukum Syara’ untuk diamalkan sendiri
serta disampaikan kepada orang lain. Jadi, seorang Nabi mendapatkan wahyu dari
Allah untuk diamalkan sendiri. Adapun rasul, selain untuk diamalkan sendiri
juga disiarkan kepada orang lain.[16]
B.
HAKIKAT
KERASULAN
Kerasulan adalah merupakan akidah kedua
sesudah tauhid (pengesahan Allah)
yang merupakan prinsip agama dalam aspek akidah, kerasulan merupakan prinsip
yang sama dalam aspek kepatuhan. Rasul
secara bahasa berarti orang yang menjalankan tugas risalah pihak lain. Dalam
istilah agama, Rasul berarti “orang yang menyampaikan risalah Tuhan kepada umat
manusia dan memberi petunjuk kepada mereka menuju jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) dengan
izin-Nya”. Karena itu, rasul dalam berbagai ayat juga disebut al-hadi (pemberi petunjuk).[17]
Al-hadi ini dipilih oleh Allah dari
kalangan umat manusia dan diistimewakan-Nya dengan ilham dan amal kebajikan. Ia
menunjukkan manusia menuju jalan yang lurus dalam konsepsi dan amal perbuatan. Allah
SWT berfirman:
“Dan jiwa serta
penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhamkankan kepada jiwa itu jalan
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya”
(QS. asy-Syams, 91:7-10).[18]
Dari dua puluh lima Rasul terdapat
beberapa Rasul yang disebut Ulil Azmi, artinya Rasul-rasul yang mempunyai
keteguhan hati sangat mengagumkan, tabah luar biasa kesabarannya tidak ada
batasnya, meski mereka harus dicela, dihina, dan tantangan yang sangat
menyakitkan namun mereka tetap teguh dan tegar, senantiasa bertawakal dalam
menyampaikan ajarannya kepada umat manusia. Walau berat, tetap melaksanakan
misi sucinya yakni ajaran yang haq yang oleh Allah SWT dibebankan kepada
mereka.[19]
Adapun orang-orang yang dipercayai jabatan
menyampaikan risalah ini telah dianugerahi Allah cahaya yang terang, ilmu yang
cemerlang dan hikmah yang kuat yang terus menyambung dengan mereka, bukan
didasarkan atas prasangka dan dugaan, melainkan atas asas keyakinan dan
kepastian tentang hakikat berbagai hal yang sering kali tidak bisa ditangkap
oleh manusia pada umumnya.[20]
C.
FUNGSI
PARA RASUL
Diutusnya para Rasul adalah untuk memenuhi
kebutuhan primer diantara banyak kebutuhan akal manusia atas dasar kemurahan
Zat Yang Maha Pencipta lagi Bijaksana. Kedatangan para Rasul merupakan suatu
nikmat yang diberikan oleh yang memberikan wujud sebagai suatu ciri yang
membedakan manusia dengan makhluk lain di alam ini. Tetapi, kebutuhan itu
adalah kebutuhan rohaniah dan segala apa yang bersangkut-paut dengan perasaan
dalam kebutuhan itu, maka yang dimaksud adalah mengembalikannya kepada rohani
dan menyucikan rohani itu dari kotoran hawa nafsu yang menyesatkan, atau
menuntun nafsu itu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[21]
Untuk menjelaskan secara terperinci segala
seluk beluk jalan mengenai kehidupan manusia sehari-hari (duniawiyah),
kepintaran dalam memilih sistimnya, dan kemajuan akal untuk mendapatkan
rahasia-rahasia ilmu pengetahuan, semuanya itu bukanlah termasuk tugas para
rasul, kecuali memberikan garis-garis besar yang umumnya saja dan menganjurkan
supaya orang berlaku adil dalam hal itu. Dengan syarat bahwa semua itu tidak
akan menimbulkan keragu-raguan dalam I’tikad (kepercayaan), bahwa alam ini
mempunyai Tuhan Yang Maha Tunggal, Maha Berkuasa,Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana. Bahwa makhluk ciptaan Tuhan mengalami kejadian sesuai Kodrat-Nya
masing-masing.[22]
Tuhan memberikan syarat pula, bahwa dalam
mencapai tujuan-tujuan duniawi, seorangpun tidak diperkenankan untuk berlaku
jahat pada diri orang lain, atau pada kehormatannya, atau pada harta bendanya,
dengan jalan yang tidak benar, sebagaimana yang dikehendaki oleh peraturan umum
yang telah merata pada bangsa-bangsa dalam perundang-undangan mereka.[23]
Para Rasul membimbing akal untuk mengenali
Allah dan mengenal sifat-sifat ketuhanan yang wajib diketahui oleh manusia.
Mereka memberikan batas-batas tertentu dimana orangwajib berhenti dalam
menggali pengetahuan tentang Tuhan pada tempat yang menyulitkan posisi manusia
guna menentramkan hati kepada-Nya serta tidak menyia-nyiakan kekuatan akal yang
telah diberikan Allah kepada manusia itu, rasul-rasul itu menyatukan kalimah
makhluk ini (kepercayaannya) untuk mengabdi hanya kepada Satu Tuhan yang tidak
bisa dibagi-bagi, dan mereka menyamakan pengertian pada diri manusia itu untuk
bergantung pada-Nya dalam segala perbuatan dan mu’amalahnya, dan mereka
mengingatkan kepada manusia itu akan kebesaran Tuhannya dengan menjalankan
berbagai kewajiban ibadat dalam waktu-waktu tertentu yang berbeda-beda,
sebagai peringatan kepada orang yang
lupa dan penyucian jiwa terus-menerus bagi orang yang bertakwa. Ibadat-ibadat
itu dapat menguatkan apa yang lemah pada mereka dan menambah keyakinan bagi
orang yang mengharapakn keyakinan itu.[24]
D.
PERBEDAAN
ANTARA SEORANG RASUL DENGAN PEMIMPIN PADA UMUMNYA
Perbedaan yang membedakan antara seorang Rasul
dan dengan para pemimpin dan orang-orang shaleh itu dan menunjukkan kelebihan
atas mereka adalah “ilmu” yang diterima rasul dari Allah SWT yang dengan itu ia
memberi petunjuk kepada manusia jalan yang lurus. Para pemimpin dan orang-orang
shaleh itu tidak memiliki ilmu semacam ini, tetapi mereka membangun
pandangan-pandangan atas asas dugaan dan perkiraan semata-mata.
Pandangan-pandangan mereka tak mungkin terbebas dari kekurangan-kekurangan
berupa unsur hawa nafsu. Lantaran itulah maka akidah-akidah yang mereka
tegakkan, undang-undang yang mereka ciptakan dan metodologi ilmiah yang mereka
gariskan itu tidak selamanya benar dan terbebas dari kekeliruan.
Tentang hakikat ini Al-Quran dalam banyak
ayatnya telah memberikan isyarat, antara lain:
”Mereka tiada lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu
mereka” (QS. an-Najm, 53:23),
“Dan mereka tidak
mempunyai suatu pengetahuan apapun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu sesungguhnya tiada berfaedah
sedikit pun terhadap kebenaran” (QS. an-Najm, 53: 28)
“Orang-orang yang
zalimmengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa
kitab yang terang bercahaya, dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkaan
manusia dari jalan Allah” (QS. al-Hajj, 28:89).[25]
Berbeda dengan itu maka seorang Rasul
diberi ilmu hikmah dan pemikiran oleh Allah SWT. Ia memberi petunjuk kepada
manusia tidak atas dasar dugaan dan keinginan hawa nafsunya, tetapi memberi
petunjuk menuju jalan yang lurus yang bisa dilihatnya secara jelas dengan ilmu
yang diterimanya dari Allah SWT. Karena itu maka Al-Quran, ketika menuturkan
dalam ayatnya tentang pemberian kehormatanyang dianugerahkan Allah kepada salah
seorang di antara makhluk-Nya berupa kenabian dan kerisalahan, menyatakan bahwa
Allah SWT telah memberi ilmu dan hikmah. Dalam hal ini Ibrahim memproklamasikan
kerasulannya dengan kalimat:
“Wahai ayahku,
sesungguhnyatelah datang kepadakusebagian ilmu yang tidak datang kepadamu. Maka
ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”
(QS. Maryam, 19: 43)
Sedangkan tentang Nabi Luth, Allah
menyatakan:
“Dan kepada Luth telah
Kami berikan hikmah dan ilmu” (QS. al-Anbiya’, 21:
74).
Lalu tentang Musa as dinyatakan:
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna
akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu”
(QS. al-Qashash, 28: 14)
Tentang
Daud dan Sulaiman, Allah berfirman:
“Dan kepada mereka
masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu” (QS. al-Anbiya’ 21: 79).
Kemudian kepada Rasul kita Muhammad SAW,
Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti kemauan mereka setelah ilmu datang kepadamu, maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolongmu” (QS.
al-Baqarah, 2: 120).
E.
HUBUNGAN
ANTARA IMAN KEPADA ALLAH DENGAN IMAN KEPADA RASUL
Dari uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa
seorang Rasul itu adalah orang yang dianugerahi “ilmu” yang tidak dimiliki oleh
orang lain, serta dianugerahi Allah nur,
hikmah dan ketajaman berpikir yang tidak diberikan-Nya kepada orang lain, maka
tidak ada akidah lain tentang Allah SWT yang bisa dibenarkan kecuali yang telah
dijelaskan dan disampaikan oleh para rasul itu kepada umat manusia, serta yang
diserukan untuk mereka terima. Apabila seseorang di antara orang-orang awam ini
membangun suatu akidah tentang Dzat dan sifat-sifat Allah semata-mata di atas
renungan dan pemikirannya sendiri, atau melalui ajaran dan doktrin para
filosof, maka akidah semacam itu tak mungkin dianggap benar buat selamanya. Karena
merupakan suatu permasalahan yang berada jauh di luar kemampuan akal manusia
pada umumnya.
Semua ini mengandung arti bahwa himpunan
akidah-akidah dan rukun-rukun iman itu kebenarannya sangat tergantung pada
keimanan kepada para rasul. Mustahil benar, jika kita memutuskan kaitan kita
dengan sarana seperti ini dalam upaya kita membangun konsepsi kita di atas asas
ilmu yang benar. Maka berdasar hal ini,Al-Quran dalam banyak ayatnya, amat
menekankan seruannya pada ajakan untuk beriman kepada para rasul, antara lain:[26]
“Dan alangkah banyaknya
(penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan para Rasul-Nya,
maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami adzab
mereka dengan azab yang mengerikan. Mereka-mereka merasakan akibat buruk dari
perbuatan mereka, dan adalah akibat perbuatan mereka itu kerugian yang ama
besar” (QS. ath-Thalaq, 65: 8-9).
“Sesungguhnya orang-orang
kafir kepada Allah dan para Rasul-Nya, dan bermaksud memperbudakkan antara
Allah dan para Rasul-Nya dengan mengatakan: Kami beriman kepada yang sebagian
(dari rasul-rasul itu) dan kami kafir terhadap sebagian yang lain! Dan dengan
itu mereka bermaksud mengambil jalan lain di antara yang demikian itu (iman
atau kafir). Merekalah orang-orang yang sebenar-benarnya kafir. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan. Dan
orang-orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak membeda-bedakan
seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahala.
Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS. an-Nisa, 4: 150-152).
“Dan barang siapa yang
menentang rasul sesudah jelass kebenaran baginya, lalu mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam jahanam. Dan jahanam
itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”(QS.
an-Nisa, 4: 115).
Ayat tersebut mengemukakan bahwa hubungan
antara Iman kepada Allah dengan Iman kepada para Rasul selamanya merupakan hubungan
yang tak mungkin bisa diputuskan, dan bahwasanya orang yang tidak beriman
kepada para Rasul dan menolak mengikuti ajaran-ajaran mereka adalah sesat dan
kafir, tak perduli apakah saat itu orang tersebut beriman kepada Allah ataukah
tidak, sebab akidah apa pun yang tidak disandarkan pada “ilmu” yang dimiliki
para rasul itu tak mungkin bisa dibenarkan, sekalipun ia merupakan akidah
monoteistik (ketauhitan).[27]
F.
KESAMAAN
PANDANGAN UMAT MANUSIA
Masalah penting dalam hal ini adalah bahwa
keimanan kepada rasul itu merupakan faktor satu-satunya yang bisa mempersatukan
umat manusia serta menyatukan persepsi mereka atas akidah yang sama. Selama ini
kebodohan terhadap keimanan menjadi pangkal sengketa diantara mereka. Sebab
sepanjang mereka tidak tahu tentang masalah ini, niscaya mereka terpecah-belah
dalam berbagai mahzab yang mereka bangun atas sangkaan dan perkiraan, dan
dengan demikian tak bisa tidak pasti mereka memiliki pandangan dan akidah yang
berbeda satu sama lain.
Para Nabi memiliki ilmu, cahaya, dan hikmah
yang dianugerahkan Allah kepada mereka, maka mustahilmemiliki persepsi yang
berbeda dalam ajaran-ajaran mereka, atau dalam teknik dan metode dakwah mereka.
Karena itulah Al-Quran dengan tegas
menyatakan peneguhannya bahwa para nabi itu merupakan satu kelompok
dengan ajaran-ajaran agama dan dakwah yang sama, untuk menuju tujuan yang sama
pula, yakni ash-shirat al-mustaqim, dan bahwasannya pula seorang
mukmin tidak bisa membeda-bedakan sebagian atas sebagian lainnya dalam
keimanannya. Sementara itu orang yang mendustakan mereka secara keseluruhan,
dengan demikian terlepaslah predikat Islam dan iman dari dirinya, sebab ajaran
yang ia dustakan itu bukanlah ajaran salah seorang di antara mereka, melainkan
ajaran para nabi itu seluruhnya. Untuk itu Allah SWT berfirman:[28]
“Wahai para Rasul,
makanlah dari makan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya
Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya agama (tauhid) ini
adalah agama kamu semua agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka
bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul-rasul)itu
menjadikan agama mereka terpecah-belah hingga beberapa macam. Tiap-tiap
golongan merasa bangga padasisi mereka masing-masing”
(QS. al-Mu’minun, 23: 51-53).
“Sesungguhnya Kami telah
memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh
dan Nabi-nabi yang datang sesudahnya, dan Kami telah meberikan wahyu (pula)
kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya. (Juga kepada) ‘Isa,
Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan
(Kami telah mengutus) rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka
kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu, Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung”
(QS. an-Nisa, 4:163-14).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa para Nabi
itu semuanya menyerukan agama yang sama, dan mereka itu telah diutus sebagai Rasul
kepada berbagai umat di dunia ini. “Tiap-tiap
umat mempunyai rasul” (QS. Yunus, 10: 47)
Begitu Allah berfirman :
“Bagi tiap-tiap kaum ada
orang yang memberi (mereka) petunjuk” (QS. ar-Ra’d, 13:
7).
Tentang para Nabi yang dikisahkan oleh
Al-Quran, berikut nama-nama mereka yang wajib kita imani secara tegas:
1. Nabi
Adam as.
2. Nabi
Idris as.
3. Nabi
Nuh as.
4. Nabi
Hud as.
5. Nabi
Saleh as.
6. Nabi
Ibrahim as.
7. Nabi
Luth as.
8. Nabi
Ismail as.
9. Nabi
Ishaq as.
10. Nabi
Ya’qub as.
11. Nabi
Yusuf as.
12. Nabi
Ayyub as.
13. Nabi
Syu’aib as.
Harun
Musa
Harun
Musa
14. Nabi
Zulkifli as.
15. Nabi
Daud as.
16. Nabi
Sulaiman as.
17. Nabi
Ilyas as.
18. Nabi
Ilyasa as.
19. Nabi
Yunus as.
20. Nabi
Zakaria as.
21. Nabi
Yahya as.
22. Nabi
Isa as.
23. Nabi
Muhammad SAW
Sedangkan para Nabi dan pemberi petunjuk
yang dimiliki oleh berbagai umat yang tidak dikisahkan oleh Al-Quran dengan
menyebutkan nama beliau semua, maka akidah yang benar bila dinisbatkan kepada
beliau semua ini adalah untuk menuju agama yang sama, yakni Islam. Akan tetapi,
umat manusia yang datang sepeninggalnya beliau itu mengubah ajaran-ajaran para
nabi itu, sehingga dengan begitu muncullah berbagai agama yang bermacam-macam
dikalangan mereka.[29]
Ajaran-ajaran tentang para Nabi seperti
yang dikemukakan oleh Al-Quran seperti ini tidak kita temukan dalam kitab-kitab
suci maupun agama-agama yang dianut oleh berbagai bangsa di dinia ini.
Kitab-kitab suci dan agama-agama itu tidak memiliki bukti-bukti maupun
argumentasi yang jelas dan benar seperti yang ada dalam Al-Quran sekaligus
membuktikan kebenaran dan keabadian risalah yang ada dalam Al-Quran memuat
risalah universal dan seruan abadi yang mengikat manusia dalam tali
persaudaraan dan persatuan internasional.
G.
PATUH
DAN TAAT KEPADA RASUL
Konsekuensi yang pasti terjadi dalam keimanan
kepada kerasulan ini adalah bahwa umat manusia mesti mengikuti jalan yang telah
ditempuh para Nabi dan Rasul Allah itu, tidak saja dalam masalah akidah dan
peribadatan, tetapi sekaligus dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab, berdasarkan
ilmu dan ma’rifat yang diberikan Allah kepada para Nabi dan Rasul itu, mereka
mampu membedakan jalan yang lurus dari jalan yang menyimpang dalam bentuknya
yang demikian jelas dan meyakinkan, yang karena itu pula maka semua perintah
dan larangan mereka tidak berasal dari diri mereka sendiri, melainkan berasal
dari Allah SWT.[30]
Sedangkan umat manusia pada umumnya tidak
memiliki keberuntungan dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah
seperti yang dimiliki para Nabi dan Rasul itu, sekalipun mereka telah memiliki
pengalaman bertahun-tahun, dan bahkan berabad-abad lamanya. Dan kalaupun sekali
waktu mereka sampai pada suatu kesimpulan yang benar, maka kesimpulan itu tidak
mereka capai atas dasar keyakinan, tetapi diperoleh melalui dugaan, analogi,
dan asumsi-asumsi belaka. Itulah sebabnya mengapa kesimpulan yang mereka
peroleh itu selamanya mengandung keraguan, kekurangan, dan kemungkinan berubah
dan berganti.[31]
Berbeda dengan itu, maka cara yang
ditempuh oleh para nabi dan rasul, yang mereka anjurkan untuk diikuti oleh umat
manusia ini, dibangun atas asas “ilmu” yang dianugerahkan Allah, sehingga ia
tidak mengandung kemungkinan salah, lemah, berubah, maupun diganti, dan
berdasar itu maka Al-Quran berkali-kali memerintahkan umat manusia ini untuk
mengikuti jalan yang ditempuh para nabi dan rasul. Jalan yang ditempuh para
nabi itu disebut oleh Al-Quran sebagai “syariah”, “minhaj” dan ash-shirath
al-mustaqim”, lalu menyerukankepada mereka agar meninggalkan jalan yang mereka
tempuh merupakan sarana memperoleh mardhatillah.
Tentang hal itu Allah berfirman:[32]
“Dan Kami tidak mengutus
seorang Rasul, kecuali untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS.
An-Nisa, 4:64).
“Katakanlah: Jika kamu
(betul-betul) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah menyayangi dan
mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah:
Taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali ‘Imran,
3: 31-32).
“Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya,
sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya). Dan janganlah kamu menjadi
orang-orang yang berkata: Kami mendengarkan. Padahal mereka tidak mendengarkan.
Sesungguhnya seburuk-buruk binatang (makhluk) di sisi Allah adalah orang-orang
yang pekak dan tuli, yang tidak mengerti suatu apapun.”
(QS. Al-Anfal, 8: 20-22).
H.
PENTINGNYA
AKIDAH TERHADAP KERASULAN
Di samping adanya hukum yang jelas tentang
keharusan taat dan mengikuti Rasul, maka keyakinan terhadap kerasulan
hakikatnya juga merupakan ruh bagi peradaban dan kehidupan Islam. Juga
merupakan kekuatan besar dalam memelihara kelestariannya, dan asas yang padanya
keistimewaan dan kekhususan ajaran Islam ini ditegakkan.[33]
Ada tiga hal pokok yang bisa dianggap sebagai
asas bagi semua bentuk peradaban atau sistem kebudayaan, yakni:
1. Pola
berpikir
2. Prinsip-prinsip
moral
3. Undang-undang
(hukum) kemasyarakatan (sipil).
Pola berpikir merupakan doktrin-doktrin
yang berasal dari kaum cerdik pandai yang karena satu dan lain sebab menguasai
pola berpikir sekelompok atau sejumlah besar umat manusia.Prinsip-prinsip moral
berasal dari ajaran para pemimpin dan orang-orang shaleh di kalangan masyarakat
yang menempati posisi sebagai pemimpin non-formal.Sedangkan undang-undang (hukum)
kemasyarakatan (sipil) ditetapkan oleh orang-orang yang memiliki ilmu dan
pengalaman yang mendalam, yang diakui kebenarannya oleh umatnya di berbagai
bangsa.[34]
Sistem yang berlaku di masyarakat ini
pasti mengandung tiga kelemahan:[35]
1. Unsur-unsur
yang dipersiapkan dengan ketiga sarana itu melahirkan kekacauan dan baru
terlihat setelah berjalan dalam waktu yang lama. Karena itu pula ia selamanya
mengandung kontoversi, kelemahan, dan pertentangan satu sama lain. Ini
diakibatkan karena para cendekaiawan yang menyusun sistem itu jumlahnya banyak
dan masing-masing mempunyai pendapat dan pola pikir sendiri-sendiri. Mayoritas
kaum cenedekiawan dan pemikir semacam itu terdiri dari orang-orang yang
mengisolasi diri dari kehidupan duniawi dan terputus hubungannya dengan
kehidupan masyarakat.Sementara itu kelompok para pemimpin dan orang-orang
shaleh dijadikan sumber kedua.Dengan berbagai pandangan dan ajaran yang amat
berbeda satu sama lain. Mereka hidup di dalam dunia fantasi dan hanya
“bergulat” dengan emosi dan naluri-naluri mereka yang ekstrim, mereka biasanya
tidak memiliki hubungan yang akrab dengan kenyataan-kenyataan yang berkembang
di masyarakat.Kelompok ketiga, kaum cerdik-pandai. Mereka memiliki perbedaan
yang amat tajam satu sama lain. Kesamaan mereka adalah kelompok ini kurang
terpengaruh oleh emosi dan naluri-naluri yang amat peka.
2. Unsur-unsur
yang diciptakan melalui ketiga sarana di atas tidak akan lama dan berkembang
secara luas. Tak bisa dibantah pula bahwa masing-masing bangsa pasti
terpengaruh oleh pandangan-pandangan para pemikir dan fiosof mereka dari waktu
ke waktu yang terus-menerus berbeda pula. Sejalan dengan berkembangnya kondisi
dan waktu, berubah pulalah pengaruh-pengaruh yang mereka tanamkan itu. Itulah
sebabnya di dunia ini muncul berbagai corak kebudayaan yang berbeda satu sama
lain, dan perbedaan-perbedaan itu sendiri hakikatnya merupakan dinamit yang
sekali waktu pasti meledak dan mengobarkan api yang sangat mengancam perdamaian
dunia. Pada sisi yang lainnya sistem-sistem kebudayaan dan peradaban yang
berubah dan berganti tidak berkembang dan maju kearah jalan yang benar dan
lurus.
3. Prinsip
mana pun yang ada dalam ketiga unsur tersebut sesungguhnya tidak merupakan
unsur-unsur yang bisa dikategorikan sebagai unsur yang tidak sakral. Ini disebabkan
karena pola berpikir yang diikuti oleh setiap umat yang berasal dari para
pemikir mereka, dan juga undang-undang yang digariskan oleh para cendekiawan
dan politis mereka itu semuanya adalah merupakan hasil ijtihad manusia. Akibat
yang pasti terjadi dari semuanya ini adalah bahwa ketundukan mereka terhadap
pola berpikir, prinsip moral, dan undang-undang itu, tidak mungkin memiliki
kualitas setinggi yang dimiliki oleh iman yang dilakukan secara ikhlas. Mereka
tahu bahwa unsur-unsur dasar peradaban mereka mengandung kekeliruan dan
kekurangan, dan perlu diperbaiki dan diluruskan.
Sedangkan peradabanyang dibangun atas asas
keimanan kepada Rasul akan terbebas dari kekurangan-kekurangan seperti itu,
sebab:[36]
1. Ketiga
unsur yang disebutkan di atas, dalam ajaran Islam keluar dari satu sumber.
Allah-lah yang menentukan pola perpikir, menetapkan prinsip-prinsip moral, dan
menggariskan hukum-hukum tersebut. Dia-lah pemimpin di dunia pemikiran, moral,
dan amal sekaligus. Dengan demikian pandangan yang dimunculkan pasti bersifat
menyeluruh dan merupakan perpaduan antara hasil pemikiran, emosi, dan hikmah
yang amat tinggi dalam upaya memecahkan problematika umat manusia. Ia mengambil
kadar yang tepat dari ketiga unsur itu, lalu dimasukkan ke dalam perpaduan unsur
peradaban tersebut, sehingga tidak akan ada kekurangan dan hal-hal yang
berlebihan. Selain itu ia tidak akan berubah-ubah dan bertentangan dengan
unsur-unsur lainnya, dan peradaban yang dihasilkan dari ramuan ini pasti lurus
dan kokoh. Dan ini, pada hakikatnya berada di luar kemampuan manusia dan tidak
mungkin diperoleh tanpa petunjuk dari Penguasa langit dan bumi.
2. Unsur-unsur
yang dimilikinya tidak terbatas oleh zaman dan waktu, atau hanya diperuntukkan
bagi satu bangsa teertentu. Karena itu maka pola berpikir, prinsip-prinsip
moral, dan undang-undang yang diterapkan oleh rasul, tidak seluruhnya dibangun
atas dasar aspirasi kebangsaan maupun kekhususan-kekhusuan yang bersifat amat
sementara, melainkan ditegakkan atas kebenaran dan obyektivitas yang menembus
batas-batas wilayah, ras, bahasa, maupun waktu. Sebab kebenaran dan
obyektivitas itu mencakup seluruh aspek yang ada di dunia, dan dimiliki oleh
semua bangsa.
Jadi, kalau ada suatu
peradaban yang bisa disebut sebagai peradaban yang universal dan abadi, maka
peradaban itu adalah peradaban yang ditegakkan oleh Rasullah. Sebab peradaban
inilah yang bisa diberlakukan di semua bagian dunia, diterima oleh semua
bangsa, dan berlaku sepanjang zaman tanpa ada perubahan atau pergantian.
3. Peradaban
ini mempunyai nilai-nilai yang sakral dan penuh wibawa. Semua orang yang
mengikutinya percayadan bahkan yakin sepenuhnyabahwa pendirinya, yakni
Rasulullah saw adalah orang yang memiliki “ilmu” yang datang dari Allah, suatu
ilmu yang tidak diragukan dan disangsikan kebenarannya.
“Inilah
al-Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya”
(QS. Al-Baqarah, 2:2), demikian Al-Quran menegaskan. Ia tidak dicampuri oleh
pandangan, tindakan, dugaan, nilai, dan hawa nafsu manusia, dan apa yang
dikemukakan seluruhnya berasal dari wahyu Allah. Dengan demikian ia tidak
mungkinn sesat dari jalan yang benar atau menyimpang dari jalan yang lurus.
“Kawanmu
ini yakni Nabi Muhammad saw, tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diturunkan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya (Jibril)
yang sangat kuat” (QS. An-Najm, 53: 2-5).
Kenyataannya, peradaban
seperti yang ditampilkan Rasulullah ini memiliki tujuan yang jelas, kokoh, dan
tahan lama. Sampai pada detik ini belum ada sistem yang memiliki kehandalan
seperti yang ada dalam perdaban Islam ini, dan pola berpikir, prinsip-prinsip
moral, maupun undang-undang yang telah ditetapkannya memiliki kekuatan hukum,
wibawa, dan kesakralan yang amat besar.
IMAN
KEPADA KITAB
A.
PENGERTIAN
BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
Yaitu
mempercayai bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang di turunkan kepada para Rasul
untuk di sampaikan kepada para umat manusia.[37]
Beriman kepada kitab-kitab Allah mencakup tiga hal yakni :
a. Mempercayai
bahwa kitab-kitab itu benar di turunkan dari Allah SWT.
b. Beriman
kepada apa yang telah Allah namakan dari kitab-kitabNya seperti Al-Qur’anul
Karim yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Taurat yang di turunkan kepada
Nabi Musa dan Injil yang di turunkan kepada Nabi Isa.
c. Mempercayai
bahwa berita-berita di dalam kitab tersebut adalah benar apa adanya.
Beriman
kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu rukun iman, sebagaimana firman
Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada
Allah dan RasulNya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasulnyaa serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya” (QS.
An-Nisa:136).
B.
KEISTIMEWAAN
AL-QUR’AN
Sesungguhnya
Al-Qur’an adalah firman Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu setiap mukmin senantiasa mengagungkan Al-Qur’an dan berusaha
berpegang teguh pada hukum-hukumnya. Terdapat beberapa keistimewaan Al-Qur’an:[38]
1. Al-Qur’an
menghimpun ringkasan dari hukum ilahi dan datang sebagai penguat dan pembenar
dari apa yang di kandung oleh kitab-kitab Allah terdahulu. Allah berfirman:
“Dan Kami telah turunkan
kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya
yaitu kitab-kitab (yang di turunkan sebelumnya) dan sebagai saksi”
(QS. Al-Maidah: 48)
2. Manusia
wajib berpegang teguh kepada Al-Qur’an sehingga setiap orang harus mengikuti
petunjuk Al-Qur’an dan mengamalkannya. Allah berfirman:
“Dan Al-Qur’an ini di
wahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada
orang-orang yang sampai kepadanya” (QS.
Al-An’am:19)
3. Allah
telah menjamin untuk menjaga Al-Qur’an sehingga tidak akan pernah ada yang bisa
mengubah kata di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman :
“Sesungguhnya Kamilah
yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memelihara”
(QS.Al-Hijr:9)
4. Sampai
detik ini Al-Qur’an tetap terpelihara kalimat, huruf dan syakalny sehingga
banyak hafiz di dunia ini. Setiap saat mushaf-mushaf diterbitkan oleh puluhan
juta orang tanpa ada satu orangpun di antara kaum Muslimin yang memiliki
perbedaan barang di dalam satu huruf dalam Al-Qur’an. Dengan demikian tidak ada
alasan untuk meragukan bahwa Al-Qur’an yang di dengar oleh kaum Muslimin
melalui lisan Rasulullah SAW itu persis seperti yang kini ada di tangan kita
dan insyaAllah Al-Qur’an tetap akan terpelihara sampai hari kiamat tiba.
5. Al-Qur’an
di turunkan dalam bahasa Arab dan bahasa Arab adalah bahasa yang di pergunakan
dan di pahami oleh ratusan juta orang di dunia ini. Tidak ada satupun kitab
yang di baca secara fasih oleh sekian banyak orang. Oleh karena itu,
orang-orang yang membaca dan memahami kandungannya tidak mengalami kesulitan
seperti yang ditemui pada kitab-kitab yang lainnya.
6. Firman
yang terdapat di dalam Al-Qur’an di tujukan kepada seluruh umat manusia dan
semua ajaran yang ada di dalamnya baik akidah, prinsip moral maupun hukum yang
berhubungan dengan manusia berlaku universal sepanjang masa.
7. Seluruh
apa yang ada di dalamnya memuat ajaran-ajaran kitab suci sebelumnya dimana
mustahil ada ajaran suatu kitab suci yang benar yang tidak di singgung oleh
Al-Qur’an sehingga selama ada kitab ini maka manusia tidak membutuhkan kitab
apapun kecuali Al-Qur’an.
8.
Al-Qur’an merupakan
kumpulan ajaran dan hukum ilahi yang terakhir dalam artian Al-Qur’an telah
mengeluarkan semua hukum dan ajaran yang pernah di turunkan kepada umat manusia
melalui kitab-kitab suci yang berlaku untuk lingkungan umat tertentu lalu
kepadanya di tambahkan sejumlah hukum dan ajaran yang baru yang belum pernah
ada di kitab sebelumnya.Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah turunkan kepadamu”
(QS. An-Nisa:105).
C.
HUBUNGAN
ANTARA RASUL DENGAN KITAB
Rasul
dan kitab sama-sama datang dari Allah SWT dan merupakan bagian dari suatu
kesatuan yang berasal dari Tuhan yang sama. Kedua-duanya merupakan sarana
mencapai tujuan yang sama pula dimana salah satunya merupakan ilmu Allah dan
yang lainnya merupakan argumentasi-Nya dimana kehidupan Rasulullah SAW
dinyatakan sebagai suri teladan kaum muslimin.
Salah
satu fitrah yang ditetapkan Allah bagi umat manusia adalah bahwa mereka tak
mungkin mampu mengambil manfaat dalam bentuknya yang sempurna dari isi Kitab
itu karena itulah mereka membutuhkan seorang “Maha Guru” yang bisa menanamkan
ilmu yang terdapat dalam kitab kemudian menjadikannya sebagai suri teladan
sekaligus menuntur adanya keterangan yang disandarkan pada suatu sumber yang
bisa diyakini kebenarannya. Sebab prinsip-prinsip yang dijadikan landasan
mengandung pola berpikir, bertindak, moral dan peradaban masyarakat dan jika
tidak terpelihara maka pengaruh ajarannya akan terkikis dan mengancam asas-asas
kehidupan dan melemahkan pilar penopang sistem sosial sehingga tidak ada satu
ajaran yang dipercayai karena tidak adanya bukti. Oleh sebab itu, Allah
menyerahkan kepemimpinan dan kalam-Nya kepada individu yang suci. Jika tidak
ada seorang Nabi yang diutus ke dunia tanpa kitab suci niscaya tidak akan
tercapai tujuan pemberian hidayah tersebut.[39]
D.
IMAN
KEPADA SEMUA KITAB SAMAWI
Al-Qur’an
memerintahkan agar umat manusia beriman kepada semua kitab suci yang diturunkan
Allah kepada para Rasul-Nya sehingga mereka dituntut untuk beriman kepada Nabi
dan kitabnya. Allah berfirman:
“Dan mereka yang beriman kepada kita yang ditutunkan
kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu”
(QS. Al-Baqarah:4)
“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya” (QS. Al-Baqarah:285)
“Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya’kub dan anak-anaknya, serta apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para
nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun diantara mereka
dan hanya kepada-Nya kami menyerahkan diri” (QS.
Ali-Imran:84)
“(yaitu) orang-orang yang mendustakan al-kitab
(Al-Qur’an) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus.
Kelak mereka akan mengetahui ketika belenggu dan rantai di pasang di leher
mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka
dibakar dalam api” (QS. Al-Mu’minun:70-72)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka
al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”
(QS. Al-Hadid;57-25)
Dengan
penjelasan tersebut Al-Qur’an secara jelas memerintahkan beberapa kitab suci
yang harus di imani dan di berikan pujian. Taurat, Al-Qur’an menyebutkannya
sebagai An-Nur (cahaya), Al-Huda (petunjuk), Al-Furqon (pembeda), Adh-Dhiya’
(cahaya terang), Al-Imam
(pemimpin) dan Ar-Rahman (Rahmat).
Al-Qur’an menyebutkan Injil di antaranya An-Nur
(cahaya), Al-Mau’idzah (nasehat) dan Al-Huda (petunjuk).
Dengan
demikian beriman kepada kitab-kitab yang telah disebutkan namanya pada
Al-Qur’an merupakan prinsip Islam. Sesuai ajaran akidah Islam maka tidak ada
satu umat pun di dunia ini yang tidak mempunyai seorang Rasul tanpa membawa
kitab suci dan semua kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi adalah
rangkaian ajaran yang memiliki sumber yang sama. Semua kitab itu diturunkan
dengan membawa kebenaran, petunjuk, dan cahaya yang selama ini dikenal dengan
nama Islam.[40]
E.
BERIMAN
KEPADA AL-QUR’AN
Ada
beberapa alasan mengapa manusia harus beriman kepada Al-Qur’an yakni:[41]
1. Sebagian
besar kitab-kitab yang ada di dunia ini sudah tidak ada lagi sedangkan yang
masih bisa di temukan kondisinya sudah tidak terpelihara kecuali Al-Qur’an.
Kitab-kitab tersebut
sudah bercampur aduk dengan tulisan tangan manusia yang mengandung unsur
kesesatan sehingga sulit membedakan antara hak dengan batil, antara petunjuk
dengan kesesatan. Sebagian kitab-kitab itu ada yang betul-betul tidak
mencerminkan kalam ilahi, yang lain tidak kita ketahui kepada nabi yang mana
kitab itu diturunkan sedangkan sebagian kitab yang lain sudah hilang karena
zaman sehingga mengalami berbagai perubahan dan sulit untuk menentukan makna
yang terkandung di dalamnya serta memahami tujuan-tujuan ajarannya dalam bentuk
yang benar sehingga kitab-kitab tersebut tidak mungkin mencerminkan ilmu dan
cahaya petunjuk yang benar kepada umat manusia.
2. Kitab-kitab
yang ada di dunia sekarang ini kecuali Al-Qur’an ajarannya seringkali
menimbulkan pengaruh bagi lahirnya semangat nasionalisme. Sebagian besar
memperlihatkan bahwa kitab-kitab tersebut berlaku untuk masa-masa tertentu dan
pada negara tertentu pula. Dengan demikian kitab tersebut tidak bisa di pandang
sebagai sarana hidayah yang universal bagi seluruh umat manusia untuk sepanjang
zaman dan tidak cocok untuk masa sekarang ini.
3. Tidak
di ragukan bahwa sebagian kitab-kitab itu ada pula yang megandung ajaran-ajaran
yang benar, prinsip-prinsip yang baik dan lurus untuk memperbaiki moral,
perilaku dan tradisi umat manusia.
F.
MANFAAT
BERIMAN KEPADA AL-QUR’AN
Berikut
manfaat beriman kepada Al-Qur’an:[42]
·
Mengetahui perhatian
Allah terhadap hamba-hambaNya juga kesempurnaan rahmatNya dimana Allah
menurunkan kitab sebagai petunjuk umat manusia agar mereka bisa mencapai
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
·
Mengetahui hikmah Allah dalam
syariatNya dimana Allah mensyariatkan kepada setiap kaum apa yang sesuai dengan
keadaan dan karakter mereka. Allah berfirman: “Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah:48)
·
Bersyukur kepada Allah
terhadap diturunkannya kitab-kitab tersebut. Sebab kitab-kitab tersebut
merupakan cahaya dan petunjuk di dunia maupun di akhirat.
G.
PENYIMPANGAN
KITAB TERDAHULU
Allah telah memberitahu melalui Al-Qur’an
bahwa ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani telah mengubah kitab-kitab mereka.
Oleh karena itu kitab-kitab mereka tidak lagi seperti saat di turunkan Allah.[43]
Orang-orang Yahudi menyimpangkan Taurat
dengan mengubah, mengganti dan mempermainkan hukum-hukum Taurat. Allah
berfirman:
“Di
antara orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya”
(QS. An-Nisa:46)
Orang-orang Nasrani juga menyimpangkan
Injil dengan mengubah hukum-hukum di dalamnya. Allah berfirman tentang
orang-orang Nasrani:
“Sesungguhnya
di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Kitab
supaya kamu menyangka yang di bacanya itu sebagian dari Kitab, padahal ia bukan
dari Kitab dan mereka mengatakan: Ia (yang di baca itu datang) dari sisi Allah,
padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang
mereka mengetahui” (QS. Al-Imran:78)
Oleh karena itu, Taurat yang sekarang ini
bukanlah Taurat yang di turunkan kepada nabi Musa dan Injil yang sekarang ini
bukanlah Injil yang di turunkan kepada nabi Isa. Sesungguhnya Taurat dan Injil
yang berada di tangan Yahudi dan Nasrani mengandung aqidah yang rusak,
berita-berita yang batil dan cerita-cerita yang dusta.
BAB
III
DAFTAR
PUSTAKA
Zuhri H. 2013. Pengantar
Studi Tauhid. Yogyakarta: Suka Press.
Mahmudin. 2006. Menemukan
Kebenaran Islam. Yogyakarta: Gava Media.
Abul A’la Maududi. 1986.Dasar-Dasar Iman. terj. Afif Mohammad. Bandung:
Pustaka.
Muhammad Abduh. 1979. Risalah Tauhid. terj. Firdaus. Jakarta:
Bulan Bintang.
Sangkot
Sirait. 2013. Tauhid dan Pembelajarannya.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
Zainuddin. 1991. Ilmu Tauhid Lengkap. Solo: Rineka Cipta.
Abdul
Aziz bin Muhammad Abdul Latif. 1998. Pelajaran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan.
Jakarta: Yayasan Al-Sofwa
[1]Zuhri H, Pengantar Studi Tauhid,
Yogyakarta: Suka Press, 2013, hlm. 126
[4]Ibid
[5]Zuhri H, Pengantar Studi Tauhid,
Yogyakarta: Suka Press, 2013, hlm. 129
[8]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam,
Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 75
[9]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam,
Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 75
[11]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam,
Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 83
[12]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam,
Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 87
[14]Mahmudin, Menemukan Kebenaran Islam,
Yogyakarta: Gava Media, 2006, hlm. 103
[22]Sangkot Sirait, Tauhid dan Pembelajarannya,Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2013, hlm. 68
[23]Ibid
[37] Abdul Aziz bin
Muhammad Abdul Latif, Pelajaran Tauhid
untuk Tingkat Lanjutan, Jakarta: Yayasan Al-Sofwa, 1998, hlm. 42
[42] Abdul Aziz bin
Muhammad Abdul Latif, Pelajaran Tauhid
untuk Tingkat Lanjutan, Jakarta: Yayasan Al-Sofwa, 1998, hlm. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar